Minggu, 24 Februari 2008

Mana ‘Taring’mu Mahasiswa?


Gema hari Pahlawan tak semeriah gema konser-konser yang diadakan di beberapa universitas. Tak sepopuler jurkam-jurkam cagub dan cawagub. Tak semewah perlombaan dan atraksi yang diselenggarakan beberapa organisasi mahasiswa di perguruan tinggi dan disponsori oleh perusahaan-perusahaan besar. Hari Pahlawan hanya diperingati oleh segelintir ‘umat’ yang masih peka dengan kondisi negeri yang sudah tua ini. Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November terlihat biasa-biasa saja. Hari dimana pejuang-pejuang negeri ini melawan penjajah dan berhasil mengibarkan bendera merah putih di ‘sarang’ penjajah dianggap tak berarti apa-apa. Terutama bagi mahasiswa yang seharusnya menjadi penerus perjuangan bangsa.

Mahasiswa yang katanya agent of change dan agent of control di perguruan tinggi sepertinya sudah kehilangan ‘taring’nya. Jarang lagi kita lihat aksi-aksi mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sekalipun kebijakan itu meresahkan masyarakat. Di beberapa kampus jarang sekali aktivitas-aktivitas yang berbau intelektual maupun pergerakan. Mahasiswa benar-benar telah ‘mati rasa’ dengan kondisi yang terjadi di masyarakat.

Ketika ditanya seputar hari pahlawan, beberapa dari mereka malah mengatakan bahwa sekarang bukan lagi zaman penjajahan. Sungguh tragis kondisi mahasiswa sekarang! Wajar saja degenerasi moral meluas kemana-mana jika kaum mudanya beranggapan seperti ini. Padahal kalau kita mau lebih teliti melihat kondisi Indonesia Raya ini, kita benar-benar masih dalam penjajahan. Terutama mereka yang mendoktrin kita dengan paham-paham seperti kapitalisme, materialisme dan hedonisme. Mahasiswa sekarang telah dijebak dengan produk-produk yang memanjakan kita dengan kemewahan dan kenyamanan. Sehingga mereka tak perlu susah-susah lagi memikirkan kondisi negerinya. Jadilah mereka orang-orang individualis yang egois!

Masa-masa penjajahan atau pasca itu (orde lama) mahasiswa masih berjuang dengan tenaga, waktu dan pikirannya. Contohnya Soe Hok Gie yang melawan kebijakan politik pemerintah dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Kata-katanya yang pedas, hingga ia pernah ditegur oleh gurunya sendiri karena ‘ketaksopanan’nya itu. Dan masih banyak lagi yang lainnya yang patut kita jadikan contoh. Kondisi zaman sekarang sangatlah berbeda dengan zaman dulu. Ketika pejuang kita masih mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Sekarang kita menggunakan ketajaman intelektual kita untuk melawan semua itu. Aktivitas seperti diskusi, membaca dan menulis juga jarang kita lihat. Padahal dengan kegiatan seperti itulah mahasiswa ‘berperang’ melawan kolonialisme.

Apakah masih ada mereka yang mengenang perjuangan pahlawan-pahlawan kita? Ataukah semua itu hanya sekedar cerita dan pelajaran sejarah saat kita di sekolah dulu? Hanya diri kita pribadilah yang tahu semua jawaban itu. Di STAIN khususnya, tak henti-henti kita lihat organisasi-organisasi kepemudaan mencari kader. Akan tetapi setelah itu, kader-kader itu dilepas tanpa diberi suntikan ilmu dan motivasi. Dan akhirnya, mereka sama saja dengan mahasiswa yang kerjaannya hanya ke kampus-kelas-perpustakaan-kantin-rumah. Begitu terus rutinitas yang mereka jalani. Apa mereka tidak bosan?!

Hari Pahlawan ini harusnya dapat kita jadikan ajang motivasi bagi diri kita. Bagaimana kita terus memacu diri menjadi yang terbaik. Menjadi ‘pahlawan’ Indonesia di mata dunia. Setidaknya menjadi ‘pahlawan’ bagi kedua orang tua kita. Karena menjadi mahasiswa yang bisa lulus dengan nilai baik dan diwisuda semua orang juga bisa. Tapi menjadi mahasiswa yang peduli dengan sekitarnya (baca: aktivis) ditambah dengan prestasi akademiknya yang baik, jarang sekali kita lihat di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan para pejuang kita terdahulu jangan kita sia-siakan. Masakan setelah era reformasi kita hanya ongkang-ongkang kaki menikmati kemunduran orde baru. Padahal ketidakadilan bagi masyarakat jelas sekali kita lihat di zaman globalisasi ini.

0 komentar: