Rabu, 19 Agustus 2009

ADA CINTA DI PINTAU, ANYAU E…


Dusun Pintau, Desa Tanjung Satai, Kecamatan Pulau Maya Karimata merupakan salah satu Dusun yang terletak di daerah pesisir pantai. Konon dari cerita warga masyarakat, nama Pintau dipilih karena diambil dari suara burung yang pertama kali di dengar oleh pendatang yang pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Cin…cau…begitu bunyi suara burung itu. Cerita ini saya dapatkan dari Pak Muchsin, beliau merupakan salah satu ‘tetua’ di Dusun Pintau ini.
Dusun Pintau terletak di Desa Tanjung Satai Kecamatan Pulau Maya Karimata Kabupaten Kayong Utara. Luas wilayah Desa Tanjung Satai 150, 66 Km yang berbatasan dengan Desa Dusun Besar di sebelah utara dan berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah Selatan, Barat dan Timur. Di Kecamatan inilah kita bisa mengunjungi Pulau Karimata yang memiliki panorama alam yang indah. Namun, pada musim seperti ini – angin kencang dan gelombang besar – membuat masyarakat tidak berani untuk pergi ke daerah pulau yang menyeberangi lautan itu.
Dusun Pintau merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan laut dan sungai. Oleh karena itu, sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Dusun Pintau ini adalah nelayan. Mereka melaut setiap hari apabila cuaca teduh. Mereka menyebutnya Musim Barat. Di daerah ini terkenal dua musim untuk membedakan kondisi alam, Musim Selatan dan Musim Barat. Musim Selatan merupakan musim kemarau, dimana jarang sekali turun hujan di daerah ini, angin laut kencang dan gelombang yang besar. Pada musim ini, masyarakat jarang sekali pergi ke laut kecuali saat cuaca sudah teduh. Kemudian ada yang namanya Musim Barat. Pada musim ini bisa juga disebut musim penghujan. Bila hujan telah tiba maka kondisi laut akan teduh, angin menjadi tenang dan laut juga tidak bergelombang.
Sedikit cerita tentang dua musim yang unik ini. Musim Selatan terjadi pada sekitar bulan Mei hingga September. Pada musim ini, masyarakat Dusun Pintau memiliki banyak permasalahan yang melanda. Hujan jarang turun sehingga laut tidak teduh dan masyarakat jarang melaut. Hal tersebut mengakibatkan kehidupan perekonomian untuk tabungan dan kebutuhan sehari-hari agak sulit. Ikan-ikan yang didapat pada musim ini hanyalah cukup untuk makan satu keluarga sehari-hari. Seperti Ikan Puput, Bulu Ayam, Malong, Hiu, Sembilang, Blukang, dan lain sebagainya. Dan itupun dalam ukuran yang kecil. Ikan-ikan tersebut biasanya hanya dijual untuk masyarakat setempat saja.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada musim ini, mereka biasanya membuat ikan asin dari sebagian ikan yang telah mereka dapatkan. Selain itu, apabila cuaca di laut sama sekali tidak teduh, masyarakat di Dusun Pintau biasanya pergi ke ladang atau sungai untuk memancing. Terkadang apabila beruntung, mereka akan mendapatkan ikan dengan ukuran yang besar. Ikan yang dipancing di sungai biasanya seperti Ikan Ruan (Ikan Gabus) dan Ikan Kepuyu (Ikan Betok). Selain ikan, biasanya juga mereka mencari udang di sungai yang ada di depan rumah mereka. Masalahnya, air sungai yang mengalir di depan rumah penduduk tak selamanya tawar, pada musim selatan biasanya air di sungai itu asin karena air laut masuk ke sungai.
Selain memancing, biasanya penduduk di Dusun Pintau mencari Kepah (sejenis kerang), Siput, dan Ketam (sejenis Kepiting dalam ukuran kecil) untuk makan sehari-hari. Di Dusun Pintau sangat susah bagi kita menemukan sayuran hijau hingga mereka jarang sekali makan sayuran sebagai penyeimbang gizi. Jenis sayuran yang biasa mereka makan seperti Pakis, Cangkok Manis (Daun Katuk), Kangkung, dan Umbut Kelapa. Pasokan sayuran lebih banyak datang dari Desa tetangga yang ada di Kecamatan Pulau Maya Karimata. Maka, selain memancing biasanya penduduk mencari sayuran-sayuran itu yang memang mudah didapatkan di daerah persawahan.
Pada musim selatan ini, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di daratan daripada di lautan. Karenanya, selain menjadi Nelayan, beberapa masyarakat juga bekerja sebagai Petani dan Peternak. Di Dusun Pintau hanya sekali dalam setahun mereka memanen padi. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang membuat produksi padi mereka terhambat. Untuk tahun 2009 ini, produksi panen mereka terhitung gagal. Menurut sebagian penduduk, kegagalan panen tahun ini dikarenakan banjir yang melanda daerah ini pada akhir tahun 2008 lalu. Oleh karena itu, padi yang mereka dapatkan tahun ini hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Disamping menjadi petani, ada sebagian masyarakat yang juga beternak hewan seperti Kambing, Ayam, Bebek, Sapi dan Walet. Ternak yang dimiliki masyarakat Dusun Pintau lumayan banyak. Terutama Kambing, Ayam dan Bebek. Hampir di beberapa rumah penduduk memiliki ternak tersebut. Mereka juga memiliki cara yang unik untuk memelihara ternak mereka. Mereka membiarkan ternak mereka berkeliaran di luar rumah tanpa dimasukkan ke dalam kandang. Hewan ternak tersebut dibiarkan mencari makanan sendiri, Kambing misalnya. Sedangkan Ayam dan Bebek tetap diberi makanan oleh pemilik ternak-ternak itu. Mereka bisa menjual hewan ternak mereka pada penduduk setempat, rumah makan, atau dengan peraih (agen) di pasar.
Pada musim selatan ini, air bersih merupakan salah satu permasalahan yang melanda masyarakat Dusun Pintau. Susahnya memperoleh air bersih di Dusun Pintau karena lokasinya yang berdekatan dengan laut. Air laut yang asin kadang masuk ke dalam parit yang melintasi depan rumah warga. Terkadang air tawar dari sungai juga masuk ke dalam parit tersebut. Hasilnya, ketika air asin dan air tawar bertemu, air di parit depan rumah warga itu menjadi payau. Bahkan tak jarang tak ditemukan air tawar di parit itu karena air laut yang masuk lebih banyak daripada air dari sungai. Oleh karena itu, warga menjadi kesusahan mendapatkan air untuk mandi dan mencuci. Terlebih lagi jika hujan tidak turun selama berbulan-bulan, mereka terpaksa mengambil air di hulu sungai untuk minum dan masak.
Di Dusun Pintau sebenarnya telah terpasang pipa-pipa dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Akan tetapi, sepertinya proses selanjutnya telah terhenti karena tidak ada tindak lanjut lagi dari pihak terkait. Jadi, pipa-pipa itu hanya sebagai pelengkap di jalanan tanpa tahu kapan akan terealisasi. Permasalahan utamanya mungkin karena lokasi Pulau Maya Karimata yang cukup jauh hingga tak terjangkau. Disamping itu, di rumah-rumah warga Dusun Pintau jarang sekali ditemukan tempat penampungan air yang besar seperti tempayan atau tong yang terbuat dari semen. Tempat penampungan air yang mereka miliki hanya berupa bak air besar yang terbuat dari plastik dan tong air yang terbuat dari plastik. Maka dari itu, apabila hujan turun, tampungan air hanya bertahan hingga kurang lebih dua bulan.
Lain halnya dengan Musim Selatan, Musim Barat di Dusun Pintau merupakan musim yang penuh dengan anugerah bagi masyarakat Dusun Pintau. Karena pada musim ini kondisi berbeda mereka rasakan dari Musim Selatan. Penduduk Dusun Pintau menyebutnya ‘banjir ikan’ terutama jenis ikan Gembung dan Tenggiri. Pada musim ini, nelayan yang tadinya ‘pensiun dini’ pada musim selatan kembali beraktivitas. Mereka berlomba mencari ikan yang bertebaran di lautan karena pada musim ini angin dan gelombang hampir tidak dirasakan, kondisi laut selalu teduh dan aman untuk melaut.
Singkat cerita, sangat mudah untuk mendapatkan ikan pada musim ini. Selain ikan, udang, kepiting dan hasil laut lainnya. Sampai-sampai, menurut warga Dusun Pintau ikan-ikan tersebut dibuang-buang lagi ke laut dan diberikan secara cuma-cuma pada penduduk lainnya yang tidak melaut. Namun, pada musim barat ini nyamuk-nyamuk juga banyak berkeliaran di lingkungan sekitar rumah masyarakat. Menurut beberapa warga, memang pada musim ini rentan sekali terjangkit penyakit malaria. Hal itu disebabkan pada musim barat ini hujan sering turun di wilayah ini, akibatnya banyak nyamuk-nyamuk dari hutan yang datang ke pemukiman warga. Tapi, belum ada penyakit serius yang melanda Dusun Pintau selama musim barat ini. Karenanya, saat kami bercerita mengenai ketakutan kami akan penyakit malaria waktu kami ditempatkan di Pulau Maya, masyarakat disana langsung menepis anggapan tersebut. Menurut mereka, daerah yang rentan terkena malaria di daerah pulau-pulau kecil yang terdapat di Pulau Maya seperi Pulau Karimata, Dusun Betok dan lain sebagainya.
Kampung yang terkenal dengan hasil ikannya ini sebenarnya masih memiliki banyak kekurangan. Seperti yang telah disebutkan diatas, tempat penampungan air, cara pengelolaan hasil laut, dan lain sebagainya. Belum lagi tidak adanya koperasi sejenis Koperasi Unit Desa (KUD) dan Koperasi Simpan Pinjam, membuat masyarakat kesulitan dalam mengelola keuangan. Ibaratnya hasil yang didapat habis untuk saat itu saja. Tidak ada pengelolaan yang baik untuk meningkatkan perekonomian keluarga para warga disana.
Dua bulan di Dusun Pintau benar-benar membuatku jatuh cinta. Aku benar-benar terkena cinlok atau yang akrab disebut cinta lokasi. Aku rasa masih kurang kebersamaanku di Dusun Pintau ini selama dua bulan. Panorama alam dan udara yang bersih jarang sekali kudapatkan di Kota Pontianak, tempatku tinggal. Kampung ini benar-benar masih asri, suara jangkrik dan katak menghiasi sunyinya malam. Suara burung-burung di pagi hari menambah semaraknya alam di Dusun Pintau.
Teman-temanku berkata bahwa kami sangat beruntung ditempatkan di Dusun Pintau ini karena masyarakatnya sangat ramah dan pengertian. Makanya muncul lah pernyataan, “Ada cinta di Pintau…Anyau e…”. Anyau adalah kata yang berasal dari bahasa Dusun Pintau yang berarti tanah atau lumpur. Di tempat ini juga kami belajar berbahasa. Aku dapat banyak sekali pengetahuan mengenai bahasa yang digunakan masyarakat sini. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kayong Utara karena mayoritas penduduk disini bersuku Melayu. Selain itu, ternyata dialek dan kata per kata yang mereka gunakan berbeda dengan mayoritas Melayu Ketapang lainnya. Jadi, antar desa, kecamatan dan dusun memiliki logat dan bahasa yang berbeda.
Ada beberapa kata yang berbeda antar warga yang berasal dari daerah yang berbeda pula. Misalnya, untuk menyatakan persetujuan, biasanya menggunakan aok am atau aok te, begitu: gian e, gitu ke, gian te. Dan masih banyak lagi variasi kata dan bahasa yang aku dengar. Kecepatan berbahasa juga kadang membuat aku dan teman-temanku bingung dengan apa yang masyarakat katakan. Sampai-sampai temanku berkata “Maaf Pak, Bu, bisa dipelankan sedikit ndak? Kamek tak paham kalo ngomongnye kecepatan…” hingga kadang kami ditertawakan oleh mereka. Mungkin mereka beranggapan kami – notabene mahasiswa yang berpendidikan tinggi – mengerti dengan bahasa yang mereka gunakan karena sama-sama berbahasa Melayu. Tapi ternyata Melayu yang berbeda yang dipakai disini.
Dua bulan yang takkan pernah kulupakan. Banyak pelajaran yang bisa kuambil dari pengalaman ini. Panorama yang indah, kultur masyarakat yang unik, bahasa yang bervariasi, tradisi yang beragam, dan lain sebagainya membuatku tidak akan melupakan kisah ini. Ini adalah lembaran baru dalam buku kisah hidupku di dunia. Dusun Pintau yang penuh cerita.