Kamis, 06 November 2008

Keamanan Lalin; Tugas Kita Bersama

Kalimantan Barat, terutama Pontianak, merupakan salah satu kota yang jumlah pengendara kendaraan bermotor-nya (baik mobil, truk, bis maupun motor) besar. Pada 2007, peredaran kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat di Kalbar mencapai 774.043 unit (diakses dari website pontianakpost pada 01 November 2008). Banyaknya jumlah kendaraan bermotor di Pontianak juga akan menambah pesatnya jumlah kecelakaan bermotor di kota khatulistiwa ini. Hingga Agustus 2008, Polda Kalbar mencatat 211 korban meninggal dunia di jalanan. Kemudian luka berat sebanyak 344 orang. Sedangkan luka ringan sebanyak 500 kasus. Kerugian materil mencapai Rp1,5 miliar (diakses dari website pontianakpost pada 01 November 2008). Disamping itu, lihat saja beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri (terutama saat arus balik ke kota Pontianak) berapa nyawa yang telah melayang dikarenakan kecelakaan lalu-lintas. Peristiwa-peristiwa tersebut mewarnai hampir seluruh media-media lokal di Kalimantan Barat (baik cetak maupun elektronik). Dan semuanya dikarenakan kelalaian pengguna kendaraan bermotor.

Banyak hal yang mengakibatkan tingkat kecelakaan lalu lintas di Pontianak meningkat. Pertama, rendahnya Law Enforcement (baca: Penegakan Hukum) di Pontianak. Kendaraan bermotor yang tiap hari meramaikan jalan-jalan di Pontianak hanya ditertibkan pada jam-jam tertentu. Misal, pada pagi hari pada saat padatnya lalu-lintas yang dipenuhi anak-anak sekolah, mahasiswa dan pekerja, Polisi Lalu Lintas terlihat aktif di lapangan. Tapi setelah arus itu berkurang, pengamanan juga mulai dikurangi. Padahal diatas jam 9 pagi masih ada pengendara kendaraan bermotor lalu lalang dan menjadi ajang pelanggaran hukum lalu lintas.

Disamping itu juga, saat-saat seperti hujan lebat juga jarang sekali kita lihat pihak kepolisian lalu lintas berpatroli di jalanan. Padahal pada waktu hujan rentan sekali terjadi kecelakaan. Dan juga terkadang pengendara kendaraan bermotor tidak tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan pada waktu berkendaraan di saat hujan. Oleh karena itu, sosialisasi menjadi hal yang sangat penting yang menjadi PR kita bersama (tidak hanya pihak kepolisian saja) untuk memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai penggunaan kendaraan bermotor di jalanan.

Sayangnya, seringkali kita lihat pengendara kendaraan bermotor yang ‘buta warna’ saat melalui traffic light (baca: lampu lalu lintas). Entah buta warna yang sebenarnya atau hanya pura-pura tak melihat lampu lalu lintas, sehingga saat lampu merah menyala masih saja ada yang jalan terus melewati lampu tersebut. Sehingga kecelakaan biasanya tak dapat terelakkan. Selain itu juga, pengendara sering tak mengindahkan marka-marka jalan (line putih yang terdapat di jalan). Hal ini bisa jadi karena sosialisasi penggunaan jalan kurang. Atau pada saat pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), pengendara hanya melakukan tes formalitas tanpa disosialisasikan terlebih dahulu hukum-hukum pengguna jalan seperti apa saja bentuknya.

Selain itu, pengendara kendaraan bermotor yang ‘nakal’ biasanya menghapal kapan polisi lalu lintas stand by di jalanan dan kapan tidak. Akibatnya pada waktu-waktu tertentu masih saja ada pengendara kendaraan bermotor yang tidak menggunakan helm standar atau yang berboncengan tidak menggunakan helm ganda. Atau seenaknya melanggar peraturan lalu lintas lainnya karena tidak adanya pihak keamanan yang akan memberikan sanksi apabila melanggar peraturan tersebut. Belum lagi kendaraan bermotor yang dimodifikasi oleh pengendaranya dan hasil modifikasinya merugikan orang lain, misalnya sinar lampu rem yang terlalu menyilaukan.

Antisipasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian akhir-akhir ini dirasa ada peningkatan. Razia-razia dadakan biasa dilakukan di beberapa titik yang dianggap rawan oleh kepolisian. Lajur kiri untuk sepeda motor juga sudah dilakukan sehingga penggunaan jalan semakin tertib dirasa. Akan tetapi, lagi-lagi waktu menjadi permasalahan. Malam hari biasanya penggunaan kendaraan bermotor lebih meningkat. Walaupun beberapa bulan terakhir terlihat peningkatan keamanan hingga malam hari, akan tetapi masih saja kendala waktu yang membatasi kinerja kepolisian. Dan hal tersebut dimanfaatkan oleh beberapa ‘oknum’ pengendara kendaraan bermotor untuk mengendarai kendaraan semaunya tanpa mengindahkan rambu-rambu lalu lintas atau pengguna kendaraan bermotor lainnya.

Dan biasanya jalan-jalan protokol menjadi ajang kebut-kebutan bagi mereka yang memiliki ‘nyawa ganda’. Disinilah fungsi pihak keamanan dirasa kurang. Mungkin saja nanti pihak kepolisian memberlakukan sistem shift untuk penjagaan keamanan lalu lintas. Jadi ada yang bertugas dari pagi hari menjelang sore dan ada yang bertugas dari sore hingga malam hari. Hal ini mungkin bisa meminimalisir kecelakaan lalu lintas di Pontianak.

Kedua, kesadaran masyarakat (terutama pengendara kendaraan bermotor) akan hukum yang berkaitan dengan lalu lintas. Terkadang, pengendara kendaraan bermotor tahu dan mengerti hukum lalu lintas, seperti simbol-simbol, tanda jalan lalu lintas, dan lain sebagainya. Akan tetapi masih saja ada yang melanggar peraturan-peraturan lalu lintas tersebut, yang tentu saja akibatnya sangat fatal. Pengguna kendaraan bermotor mestinya sadar bahwa mereka harusnya bisa menjadi mitra kepolisian dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Biasanya sebelum pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), pihak kepolisian mengadakan sosialisasi mengenai signs, warnings, dan yang lainnya yang nantinya akan kita temukan pada saat mengendarai kendaraan bermotor. Ironisnya, banyak pengguna kendaraan bermotor ini maunya sesuatu yang instan, cepat dan tidak bertele-tele. Jadinya informasi yang diterima dan diserap berkurang jumlahnya sehingga terkadang mereka mengabaikan aturan-aturan lalu lintas yang berlaku.

Ketiga, peran pemerintah. Pemerintah juga berperan penting untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan lalu lintas. Terutama yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pembangunan jalan. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor di Pontianak tidak dibarengi dengan meningkatnya jumlah pembangunan jalan. Saat ini, Kalbar memiliki jalan negara sepanjang 1.575 kilometer; jalan provinsi sepanjang 1.517,93 kilometer, jalan kabupaten/kota sepanjang 5.240 kilometer. Sehingga total jalan yang ada di Kalbar mencapai 8.333 kilometer. Dari jumlah itu sepanjang 2.496 kilometer atau 29,96 persen mengalami rusak, sedangkan 2.984,62 kilometer atau 35,82 persen menderita rusak berat. Sedangkan seperti telah disebutkan diatas bahwa peredaran kendaraan bermotor juga semakin meningkat. Ada beberapa jalan seperti di daerah Sungai Jawi dan Kota Baru yang kadang macet pada waktu-waktu tertentu. Hal itu dikarenakan jumlah kendaraan bermotor yang padat sedangkan jalan yang digunakan sempit.

Selain perlunya pelebaran jalan, jalan yang sudah ada mungkin juga perlu dibuat batasan dua arah jalur lalu lintas. Karena walaupun marka jalan telah tercetak di sepanjang jalan (terutama jalur dua arah seperti di daerah Sungai Jawi dan Kota Baru), masih saja ada pengendara yang memotong atau mengambil jalur pengendara lain yang berlawanan arah dengan jalurnya. Dan hal itulah yang terkadang juga menyebabkan kecelakaan lalu lintas dapat terjadi.

Saran terakhir adalah peran orang tua. Mengapa saya menempatkan peran orang tua menjadi langkah preventif (pencegahan) terjadinya kecelakaan lalu lintas? Hal itu dikarenakan orang tua mempunyai peran penting pada saat anak-anak mereka menggunakan kendaraan bermotor. Terkadang ada orang tua yang membiarkan anak-anak mereka yang masih dibawah umur untuk menggunakan kendaraan bermotor (terutama sepeda motor). Bayangkan saja, bahkan anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sudah bisa mengendarai motor sendiri.

Ego yang ada dalam diri anak-anak yang notabene masih ABG dan remaja ini biasanya membuat petaka bagi dirinya sendiri. Misalnya, ego kompetisi dengan teman sebaya seperti kebut-kebutan di jalan, motor yang paling modis, dan lain sebagainya. Padahal sudah banyak berita yang kita dengar mengenai pengendara sepeda motor yang meregang nyawa karena kebut-kebutan di jalan.

Kemudahan yang diberikan orang tua terkadang membuat mereka terlena walaupun mereka belum cukup umur untuk mengendarai kendaraan bermotor. Yang paling parah adalah pemalsuan data pada saat pembuatan SIM atau yang biasa disebut dengan sistem “nembak”. Tradisi seperti ini mestinya dihilangkan, dan orang tua memiliki peran paling penting untuk mengontrol anak-anak mereka selama menggunakan kendaraan bermotor. Sebagai tambahan, pihak kepolisian juga harus tegas menindak “oknum-oknum” yang masih saja memanfaatkan sistem “nembak” SIM ini. Karena hal ini tentunya merugikan semua pihak. Baik itu pengguna jalan (baca: pejalan kaki), pengendara kendaraan bermotor lainnya, pihak kepolisian, dan lain sebagainya.

Minggu, 19 Oktober 2008

Akhirnya Muncul Juga

Akhirnya...diriku muncul juga di diaryku tersayang ini....kayaknya cerita kemarin nggak ada lanjutannya deh...hehehe....gini nih kalo udah malas mau nulis. Intinya...setelah keterima beasiswa kemarin...diriku disibukkan dengan kegiatan bulan Ramadhan n Idul Fitri. Setelah itu diriku diberangkatkan oleh pihak IIEF (yang ngasih beasiswa IELSP itu loh..hehehe) ke Jakarta dalam rangka orientasi n foto visa selama 4 hari.(continued..)

Kamis, 28 Agustus 2008

Hari-hari Menjelang Keberangkatan (Part Two)

Untuk sementara waktu aku hampir melupakan tes yang dilakukan beberapa waktu lalu. Ya, untuk merelaksasikan otak dan fisik, aku bermain-main sebentar di markas besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan beberapa temanku. Sekalian mempersiapkan banyak hal untuk penyambutan mahasiswa baru di kampusku. 13 Agustus 2008, ponselku berdering saat aku mengecat baliho ucapan selamat datang kepada mahasiswa baru.

‘Dek, ad tlpn dri jkrt gak?ynt tdi ad dpt tpi tk ynt angkt krn lg d’dpr’ sender: Hardianti.

‘Gak ad t kak....ngp...k3 dpt k?wah enak nih xo k3 lu2s....’ Delivered To: Hardianti.

Sampai disitu tidak ada lagi balasan dari kak Yanti. Aku menghentikan aktivitas dan beranjak ke depan komputer untuk bermain games. Jujur saja aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Entah apa penyebabnya, aku masih khawatir apakah aku akan mendapatkan beasiswa itu atau tidak.

Keesokan harinya............

Ponselku kembali berdering saat aku akan berangkat ke kampus. Nama Hardianti berkedip-kedip di layar ponselku.

“Ass...kak....”

“Dek......Yanti lulus ke Amerika.....” Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

“Ya Allah....selamat ye kak...kayaknye cuma kakak nih yang lulus....Dian belum ade dapat kak”

“Cobelah cek email...soalnye tuh kate kakak yang nelpon Yanti, pengumumannye ade di email”

“Oh iye lah, nanti Dian cek email abis itu baru ke kampus”

“Oke deh! Ditunggu ye...Yanti di Unit Bahasa” Kak Yanti menutup telepon.

Dengan terburu-buru aku menyuruh abangku tercinta, Sugeng, untuk mengarahkan motor ke warnet yang ada di dekat rumah. Sesampai di sana, kamipun masuk ke salah satu bilik warnet. Aku membuka program Mozilla Firefox dan langsung masuk ke window Yahoo! untuk membuka email. Dengan hati yang masih deg-degan aku mengetikkan alamat email beserta password-nya. Sambil menunggu aku juga membuka window Friendster untuk melihat-lihat apakah ada teman-teman baru yang mengisi profile-ku.

Setelah email terbuka aku langsung membuka inbox emailku. Ada beberapa email yang tidak kukenal. Langsung aku klik salah satu pesan itu, dan.............ya Allah!!! Aku Lulus ke Amerika Serikat!!!!! Aku membaca sekali lagi, takut aku kurang teliti membaca. Ternyata memang benar ada, cohort 5 University of Arizona, urutan ke-13 (yang bagi sebagian orang itu angka sial tapi bagiku itu angka keberuntungan) atas nama “Dian Kartika Sari/ STAIN Pontianak”. Thanks to God!! Aku berharap ini bukan mimpi, kucubit-cubit tanganku untuk memastikan ini bukan mimpi. Terasa sakit! Artinya aku tidak mimpi. Langsung ku download semua email yang dikirimkan padaku. Tak berapa lama ponselku berdering, tertera nomor kode area Jakarta.

“Halo....”

“Halo...benar dengan Dian Kartika Sari...”

“Iya benar”

“Ini Mbak Meidi...Dian bener dari STAIN Pontianak?”

“Bener mbak...”

“Tanggal lahirnya berapa”

“26 Agustus 1988, mbak?” (dalam hati aku bertanya, ‘Siapa sih orang ini pake nanya kayak gitu?’)

“Selamat ya.....”

“Iya” Jawabku sambil senyum-senyum, (‘Oh, pasti dari Jakarta nih!’ pikirku).

“Selamat apa coba?” tanyanya menggodaku.

“Dapet beasiswa ke Amerika kan, Mbak?”

“Kok tahu sih?”

“Iya nih, Mbak...udah diimelin sama Mbak Ama.....”

“Waduh, berarti Mbak telat ya....tuh Mbak Ama di belakang Mbak senyum-senyum....” Aku ikut tersenyum.

“Jadi nggak surprise dong! Ya udah nggak papa, selamat ya, Dian, ini kado spesial buat ulang tahun Dian”

“Makasih, Mbak.....”

“Iya.....Selamat Pagi” Aku memutuskan sambungan telepon.

Aku langsung menghubungi kakYanti dan Zuraida. Disuruh ke kampus sama dosen bahasa inggrisku di Unit Bahasa. Masih dengan perasaaan bener-nggak-sih-informasi-ini?! Aku beranjak dari warnet ke kampus. Di jalan aku menerima SMS dari Zuraida, dia bilang belum ada email yang menyatakan dia lulus. Aku rasanya nggak percaya karena diantara kami berempat, dialah yang aku jagokan mendapat beasiswa ini. Kubalas SMS-nya, kukatakan mungkin belum dikirim emailnya karena beasiswa ini ada yang bulan Januari, dan ada yang bulan Maret. Kemungkinan dia dapat yang bulan Maret. Ya, semoga aja! Aku pikir kami berjuang bersama-sama jadi setidaknya kami juga mendapatkan yang sama.

Part Two fin.....to be continued to part three.

Selasa, 19 Agustus 2008

Hari-hari Menjelang Keberangkatan (Part One)

I think just in my imagination when I read in my electronic mail that I get this scholarship. Aku tidak pernah berharap akan mendapatkannya saat dosenku meminta aku dan beberapa temanku untuk mengisi aplikasi peserta beasiswa. Kak Yanti dan Aku sama-sama duduk sebagai mahasiswi semester 6 Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah. Zuraida, mahasiswi semester 6 Program Studi Ekonomi Islam Jurusan Syari’ah dan Kusuma Oktavia – dipanggil Okta – mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Jurusan Tarbiyah semester 6. The Indonesia English Language Study Program (IELSP) nama programnya. Hardianti – yang biasa kupanggil Kak Yanti, Zuraida, Okta dan Aku sendiri berjuang cukup keras selama dua hari untuk mengisi seluruh formulir itu.. Parahnya, aplikasi itu harus diisi dengan bahasa inggris. Kami berjuang bersama-sama untuk mengisi aplikasi itu walaupun harus bergadang untuk mengisi semua itu.

Selanjutnya, beberapa hari kemudian, kami dihubungi oleh Mrs. Regina, beliau sepertinya mendapat mandat dari pihak The Indonesian International Education Foundation (IIEF) yang berlokasi di Jakarta, untuk tes wawancara. Kami berempat saling berhubungan baik via telepon maupun via sms untuk mematikan bahwa kami mendapatkan telepon itu juga. Tak disangka bahwa kami berempat mendapatkannya. Wawancara akan dilakukan di gedung Magister Hukum Universitas Tanjungpura. Kami menyadari bahwa kami belum melakukan persiapan secara maksimal. Kami hanya membaca sedikit literatur dan beberapa poin yang terdapat di aplikasi.

Sesampai disana, kami tidak bisa menahan rasa grogi. Merasa takut tidak bisa melakukan tes ini dengan baik.

“Ape nak kite jawab ni, Dek?” tanya Kak Yanti padaku.

“Eh, pandai-pandai jak lah kak...e...ape yang kite bise....”

“Ih...Okta grogi nih...cobe rase tangan Okta sejuk...”

“Samelah...kame’ tak ada persiapan ni....” kata Zuraida.

Disana kami bertemu dengan anak-anak dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris. Duh, makin tambah pesimis kami untuk melakukan tes ini.

“Ya, Allah, Kak....liatlah saingan kite...anak FKIP Inggris semue...” kataku pada Kak Yanti sambil berbisik.

“Nampaknye sih peluangnye kecik nih....” sambung Okta.

“Tak ape-ape...yang penting kite nyoba jak dulu....mane gak tau kan....”sahut Zurai.

Perasaan nervous kami makin menjadi saat melihat yang mewawancarai kami datang. Dia dibantu oleh Bu Dewi (kalo nggak salah sih namanya Dewi) dari UPT Bahasa Untan. Bu Dewi menempelkan jadwal wawancara (aku melihat ada 13 orang yang akan diwawancara. Artinya ada selusin mahasiswa yang akan menjadi sainganku) dan alhamdulillah kami semua mendapatkan giliran pertama. Satu persatu anak-anak dari Untan pulang karena jadwal mereka setelah kami. Okta mendapat giliran pertam.

“Ya Allah...ape yang nak Okta jawab nih...”

“Eh...bantai-bantai jak lah, Ta, kalau perlu pake jak bahasa arab Okta tuh...” sahut Kak Yanti.

Setelah Okta, kemudian Kak Yanti, Aku dan barulah Zuraida. Wawancara itu selesai hingga pukul 13.00 WIB.

“Gimane tadi?” tanyaku pada mereka bertiga.

“Aduh, Yan....Okta jawabnye setengah-setengah...pake bahasa inggris setengah pake bahasa indonesia setengah...”

“Samelah....” aku dan Zuraida menimpali.

“Yang parah tuh Yanti....campor-campor lah, Inggris-Indonesia-Melayu....hehehe” Kami semua tertawa.

“Tinggal tunggu hasilnye jak lah nih.....” sahut Zurai.

Setelah semua kena giliran wawancara, kami semua meluncur ke kampus setelah sebelumnya diberitahu oleh Bu Dewi akan ada tes TOEFL untuk kami yang masih prediksi (khususnya buatku Okta dan Kak Yanti). Kami singgah di warung Pak Karim, kelaparan setelah menguras otak seharian dengan wawancara (apa hubungannya coba antara otak sama perut...hehehe).

Beberapa Hari Kemudian......

Sekitar seminggu setelah tes wawancara, Aku, Kak Yanti dan Okta dihubungi oleh pihak IIEF dari Jakarta untuk melaksanakan tes TOEFL di UPT Bahasa Untan. Hari itu hari Selasa (tanggal tepatnya nggak tahu abisnya nggak dicatat J) Aku, Kak Yanti dan Okta janjian untuk pergi kesana bersama-sama. Agak nervous ketika melihat UPT Bahasa Untan yang dikelilngi “pernak-pernik berbahasa inggris”. Berbeda sekali dengan yang di kampusku (but I still Love my college, STAIN!!!). Awalnya kami santai-santai saja, tetapi setelah melihat Bu Dewi dengan anggunnya masuk ke ruangan, kami mulai grogi. Saat masuk ruangan, hawa sejuk dari air conditioner menerpa kami, hingga kami merasa semakin nervous. Akhirnya saat tes pun tiba.......

“Dek...ape yang nak Yanti jawab nih.....”

“Jawab-jawab yak kak e....kalo nasib mane tau kan....”

Akhirnya Bu Dewi menjelaskan what must we do and we don’t. Setelah melewati perjuangan panjang selama dua jam...akhirnya kami keluar dari ruangan yang diberi nama Shakespeare itu. Oya tambahan satu informasi, di dalam UPT Bahasa itu setiap ruangan diberi nama. Untuk tes TOEFL, kami berada di ruangan Shakespeare.

“Ih....ngape lebih sulit dari yang prediksi di kampus kite ye?” tanya Okta saat kami keluar dari UPT.

“Entahlah...ape katenye tuh kak? Dian dikit-dikit jak bisenye” tanyaku pada Kak Yanti merujuk pada tes Listening pada saat TOEFL itu.

“Adek jak tak tahu apelagi Yanti...hehehe”

Kami pun pulang tanpa mimpi yang berlebihan. Mimpi akan mendapatkan beasiswa itu.

Part One Fin...

Sabtu, 16 Agustus 2008

BANGSA YANG TIDAK DICINTAI RAKYATNYA

Momen Tujuh Belas Agustus merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu seluruh rakyat Indonesia. Pada hari itu negara Indonesia tercinta ini berumur 63 tahun. Seluruh rakyat Indonesia bersuka cita menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Berbagai kegiatan digelar, mulai dari perlombaan, pembacaan doa selamat sekaligus makan-makan, seminar, dialog publik, dan lain sebagainya. Apakah seperti itu wujud nasionalisme yang ditunjukkan rakyat Indonesia menjelang kemerdekaan Indonesia? Ataukah ‘ritual-ritual’ seperti itu hanyalah formalitas, sebuah simbol, yang wajib dilaksanakan untuk menyambut kemerdekaan Indonesia?

Indonesia, sebuah negara yang besar di Asia Tenggara, terkenal dengan luas wilayah, penduduk, dan potensi-potensi lainnya yang terdapat di alamnya yang asri, saat ini tengah mengalami keterpurukan. Penulis katakan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang tidak dicintai rakyatnya. Mengapa? Beberapa tahun belakangan ini, bisa dihitung berapa kali bencana alam melanda Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Berapa banyak jumlah aksi kriminalitas yang disiarkan di media-media elektronik maupun cetak di negeri ini. Berapa banyak hasil bumi Indonesia dikeruk oleh anak-anak bangsa yang tidak memikirkan akibatnya. Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang harus kita jawab sebagai rakyat yang mengaku cinta bangsa Indonesia.

Di usia yang sudah cukup tua (baca: 63 tahun), kita sebagai rakyat Indonesia diingatkan untuk selalu menjaga bangsa ini. Baik melalui prestasi, nama baik, dan sebagainya. Generasi muda yang harusnya bisa memaknai dan merenungkan arti ‘kemerdekaan’ pada 17-an kali ini justru menghilangkan makna ‘kemerdekaan’ itu sebenarnya. Lihat saja di sepanjang jalan-jalan di kota Pontianak, pemuda-pemuda memperingati hari besar nasional ini dengan memutar lagu house music di tepi-tepi jalan sambil berdisko dengan teman-teman yang lain. Selain itu, jalanan menjadi ramai karena menjadi ajang kebut-kebutan para anak-anak muda. Tak lupa pula aksi mereka ditemani minuman beralkohol yang biasanya berujung pada perkelahian. Apa seperti itu cara kita merepresentasikan peringatan kemerdekaan?

Apabila direnungkan kembali cara kita merepresentasikan rasa cinta kepada Indonesia. Apakah sudah benar cara yang kita lakukan. Mari kita lihat apa yang terjadi di jalan-jalan di seputar kota Pontianak. Pengguna kendaraan bermotor biasa dengan seenaknya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Aturan-aturan yang diberlakukan di jalan seperti tidak ada artinya. Kebut-kebutan di jalan yang padat kendaraan, seenaknya melanggar lampu lalu lintas hingga kecelakaan tidak dapat terelakkan. Hingga menggunakan kendaraan-kendaraan yang tidak ramah lingkungan sehingga menimbulkan polusi udara dan polusi suara.

Selanjutnya, penggunaan hasil hutan dan hasil bumi yang tidak efisien. Coba kita lihat berapa banyak hutan yang ditebangi demi mempertebal kantong sendiri. Selain itu, ada juga yang membakar hutan untuk kepentingan sendiri sehingga kabut asap tidak dapat dihindari. Hasil bumi seperti emas dan intan juga dikeruk demi memuaskan kehidupan pribadi pengusaha. Akhirnya pencemaran lingkungan tidak bisa ditanggulangi lagi. Sungai-sungai telah tercemar dengan limbah sehingga rakyat tidak lagi dengan leluasa menggunakan sungai tersebut. Belum lagi sampah yang memenuhi sungai dan beberapa tempat di kota-kota besar membuat Indonesia semakin terlihat kumuh dan terpuruk. Belum lagi bencana alam yang terjadi dimana-mana, banjir, gempa bumi, kabut asap, dan lainnya. Penyakit-penyakit juga tersebar pada rakyat Indonesia, terutama pada orang-orang miskin. Semua hal tersebut membuat mereka semakin menderita. Karena rumah sakit-rumah sakit yang ada di negeri ini terlalu mahal untuk dijangkau oleh mereka walaupun kartu Asuransi Kesehatan (Askes) telah mereka miliki.

Dan apa penyebab semua itu? Karena Indonesia tidak dicintai rakyatnya. Rakyat yang mengaku nasionalis dengan merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan bersenang-senang padahal yang lain tengah menangis. Rakyat yang mengaku cinta negara ini tapi lebih memilih menggunakan produk orang lain. Rakyat yang mengaku besar karena pepatah “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawannya” padahal masih ada para pahlawan kita yang sengsara di suatu tempat yang tidak tersentuh pemerintah. Dan yang paling mendasar adalah bangsa Indonesia telah kehilangan kepercayaan di mata negara-negara lain karena kasus korupsi dimana-mana. Rakyat Indonesia telah kehilangan nilai-nilai ketimurannya yaitu kejujuran. Apakah kita termasuk orang-orang yang tidak mencintai bangsa kita sendiri? Ataukah kita hanya mengaku-ngaku cinta Indonesia padahal tidak? Wallahualam bis sawab.

Masih banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menjaga nama baik Indonesia di mata dunia. Salah satunya melalui prestasi yang kita miliki. Baik itu dalam bidang kelimuan, seni, musik, dan lain sebagainya. Belum terlambat untuk menunjukkan pada dunia bahwa negara Indonesia bisa menjadi negara yang maju. Lihat saja bagaimana perjuangan pahlawan-pahlawan kita di ajang olimpiade. Walaupun belum bisa mempersembahkan yang terbaik tapi mereka tetap berjuang untuk menjadi yang terbaik. Lihatlah bagaimana pasangan ganda putra Indonesia, Markis Kido-Hendra Setiawan, meraih emas pertama di cabang Bulutangkis, bisa megibarkan bendera Indonesia diiringi dengan alunan Indonesia Raya di Beijing, Cina pada malam 17-an. Atau bagaimana perjuangan anak-anak bangsa pada olimpiade sains yang juga berhasil membuat nama Indonesia dikenal. Dan masih banyak lagi prestasi-prestasi yang bisa diukir untuk membangun bangsa ini menjadi lebih maju dan bisa menghadapi dunia dengan kepala tegak. Kuncinya hanyalah kemauan untuk melakukan perubahan. Semoga!

It's Surprise!!!!

Thanks God!!! hanya itu yang bisa aku ucapkan saat melihat di inbox emailku kalo aku Lulus ke Amrik!!! Ya ampyun......gak nyangka banget Loh!!! serasa mimpi!!! Ini Amerika Serikat Loh!!! Negeri Paman SAm dan aku akan kesana.....
serasa kaki nggak berpijak ke tanah. kalo ini mimpi aku nggak mau bangun dari mimpi ini...terlalu indah...ini hadiah ulang tahun termanis dalam hidupku.....oh my.....gosh!

Sabtu, 12 Juli 2008

Potret KALBAR Masa Depan


Seorang anak kecil berlari-lari ketika lampu merah didepannya menyala...dia menadahkan tangannya di depan orang-orang yang berhenti di lampu lalu-lintas itu....Lain lagi cerita seorang anak muda yang tengah mengais-ngais tempat sampah untuk memenuhi perutnya yang tengah meronta-ronta meminta sesuap nasi....Di tempat lain lagi.....pejabat tinggi tengah asyik berdebat tentang studi banding pemerintahan ke London....Di sisi lainnya...terdapat beberapa kerumunan mahasiswa yang tengah memperjuangkan nasib rakyat yang tengah tertindas....begitulah sekilas potret yang dapat kita lihat di bumi Kalimantan Barat tercinta ini. Ada apa dengan pulau borneo hari ini?

Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi yang ada di pulau Kalimantan ini. Secara geografis, Kalbar berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Diantara semua provinsi di Kalimantan, Kalbarlah provinsi yang paling luas wilayahnya. Akan tetapi, diantara semua provinsi juga Kalbar jugalah yang paling rendah tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Kalimantan Barat saat ini tengah mengalami reposisi kepemimpinan pasca pemilihan gubernur beberapa waktu lalu. Yang kita harapkan hanyalah seorang pemimpin yang dapat membimbing dan membawa rakyatnya menuju masyarakat yang madani. Beberapa gambaran diatas dapat kita lihat di beberapa bagian wilayah provinsi tercinta kita. Entah ada berapa banyak lagi yang serupa dengan itu yang tidak terjangkau oleh kita. Untuk membangun Kalbar 2020, sudah seharusnya pemerintah Kalbar menyiapkan master plan. Master plan ini sangat berguna untuk menentukan target pembangunan Kalbar 12 tahun mendatang. Daerah yang terkenal dengan sungai terpanjangnya (baca: Sungai Kapuas) ini, memiliki potensi yang cukup besar di daerah perikanan, misalnya. Belum lagi wilayah di beberapa daerah bagian yang memiliki hasil bumi yang bermacam-maca hingga dapat menambah penghasilan masyarakat Kalbar nantinya.

Di beberapa wilayah di Indonesia saat ini tengah mengalami kemerosotan di bidang pertanian. Pada setiap berita di media massa, dapat kita lihat bagaimana harga kedelai yang menanjak naik tapi tidak dibarengi dengan kesejahteraan petani. Atau ketika harga bahan bakar minyak yang meningkat drastis tapi tidak diikuti dengan kenaikan gaji pekerja, terutama pekerja kasar seperti buruh atau karyawan honorer. Ada yang mengatasi kenaikan BBM ini dengan bahan bakar alternatif. Namun masih saja kurang dirasakan manfaatnya. Belum lagi tuntutan hidup yang sangat tinggi membuat pemerintah Kalbar harus merekonstruksi lagi segala program kerja yang akan dilakukan demi menjaga keseimbangan kehidupan antara masyarakat dengan pemerintah.

Kalbar yang kaya dengan produksi karet, kayu dan bahan hutan lainnya tentu bisa dimaksimalkan pengelolaannya. Akan tetapi yang terjadi sekarang adalah hasil hutan itu dieksploitasi seenaknya. Keuntungannya hanya memenuhi saku orang-orang tertentu saja. Naas bagi para buruh yang mungkin hanya menerima seperempat dari hasil penjualannya. Bahkan yang terjadi sekarang illegal logging makin menjadi-jadi. Jangan sampai generasi anak cucu kita mendatang tidak lagi merasakan hasil bumi Kalbar karena sudah habis terkeruk saat ini. Tidak pernahkah para pelaku itu berpikir seperti apa Kalbar di tahun 2020?! Jangan-jangan bumi borneo ini sudah separuhnya menyatu dengan lautan karena hutannya tidak lagi bisa menyerap air. Tentunya hal tersebut tidak kita inginkan. Apa jadinya generasi mendatang kalau saat ini saja sudah sebagian hasil bumi Kalimantan dikeruk seenaknya oleh orang-orang kapitalis. Hal tersebut sudah sepatutnya kita renungkan bersama. Bukan waktunya lagi kita mementingkan perut sendiri ketika masih ada saudara-saudara kita yang tidak makan berhari-hari. Saat ini yang diperlukan untuk berbicara adalah hati nurani. Apabila hati nurani telah dikalahkan logika maka akan semakin banyak orang yang menderita. Karena yang akan menikmati tanah Kalimantan ini adalah orang-orang yang berkuasa maka akan terciptalah hukum rimba di Kalbar.

Cintai Budaya Sendiri


Mengikuti sesuatu yang dimiliki orang lain terkadang memang lebih mudah daripada mengembangkan sesuatu yang telah kita miliki. Sama halnya dengan budaya, mengimitasi budaya orang lain lebih mudah ketimbang harus melestarikan budaya sendiri. Contohnya apa yang kini telah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Budaya-budaya nenek moyang telah terakulturasi dengan budaya orang lain hingga suatu saat nanti – mungkin – kebudayaan itu bisa punah perlahan-lahan.

Globalisasi dan modernisasi yang katanya dapat memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat Indonesia tidak sesuai kenyataan, malahan yang terjadi sekarang adalah westernisasi. Masyarakat tidak lagi menyaring apa yang telah didapat dari “luar” tetapi langsung menelannya mentah-mentah. Hal itu menimbulkan dampak yang sangat signifikan bagi keberlangsungan kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kalimantan Barat terkenal dengan orang Melayu-nya (disamping suku-suku yang lain) yang masih kental adat-istiadatnya. Pakaiannya sopan, rapi dan tertutup. Akan tetapi mungkin itu hanya dapat dilihat pada pola kehidupan masyarakat beberapa tahun ke belakang, karena 10 tahun terakhir ini pergeseran-pergeseran nilai sosial dan budaya mulai terjadi. Hal tersebut dapat kita lihat dari perubahan sikap, life style, dan pola pikir masyarakat.

Masyarakat gampang sekali dipengaruhi terutama dengan semakin banyaknya budaya asing yang masuk tanpa difilter terlebih dahulu. Tayangan-tayangan televisi yang ditampilkan secara tidak langsung memperkenalkan budaya asing kepada masyarakat. Pakaian mulai agak terbuka, gaya bicara yang tidak mencerminkan adat ke-timur-an, gaya hidup hedonis, kapitalis dan materialistis sehingga yang ada di pikiran hanyalah bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak-banyaknya tanpa mengedepankan etika dan moral kemudian kehidupan sosial menjadi tidak seimbang karena hanya memikirkan pekerjaan dibandingkan interaksi sosial dengan masyarakat lain. Apakah itu cerminan budaya Indonesia?

Kesalahan mengadaptasi budaya yang datang dari luar tidak bisa sepenuhnya dilemparkan kepada orang lain. Prinsipnya, siapa yang berpikir dengan hati maka hasilnya juga akan menenangkan hati. Artinya, kita memiliki akal, pikiran dan hati untuk mempertimbangkan segala sesuatu, sudah tahu yang mana baik dan yang mana salah. Harusnya kita bisa melihat sesuatu yang baik yang berasal dari luar. Seperti gaya hidup mandiri, disiplin dan pekerja keras. Masyarakat kita cenderung mangikuti pola hidup yang praktis dari luar. Ironisnya, yang terjadi sekarang adalah para remaja yang mulai mengikuti gaya hidup masyarakat barat.

Lingkungan yang kondusif sangat berpengaruh pada pribadi seorang remaja. Semangat hidup yang meluap-luap terkadang membuat mereka ingin menjadi seperti tokoh yang diidolakan. Lihat saja yang terjadi pada remaja yang berada di dekat kita, motor, ponsel, baju gaul, dan sebagainya bukan lagi menjadi barang mewah bagi mereka tetapi sudah menjadi suatu kewajiban bagi mereka untuk memiliki itu semua. Sayangnya, para orang tua juga mau saja mengikuti keinginan anak-anak mereka tanpa memikirkan lagi konsekuensi apa yang harus mereka tanggung ketika terjadi suatu hal seperti tabrakan.

Pengetahuan kebudayaan sangat penting diajarkan pada usia awal anak-anak menjelang remaja. Rasa ingin tahu yang besar terkadang membuat mereka ingin mencoba sesuatu yang baru dikenal. Dengan adanya pemahaman kebudayaan yang baik dalam diri mereka tentu akan mudah melatih mereka menjadi orang yang peka akan lingkungan sekitar dan budaya yang ada. Apabila masyarakat telah mencintai budayanya sendiri, maka mereka akan merasakan bangganya memiliki kebudayaan tersebut. Dan secara otomatis akan selalu berusaha untuk melestarikan kebudayaan itu hingga generasi berikutnya dapat menikmati kebudayaan nenek moyang. Wallahu Alam bis Sawab!

Sabtu, 07 Juni 2008

Langkah Juang

Kawan....
Kau tau mengapa hari ini perjuangan kita selalu gagal
Kenapa barisan kita kacau balau

Taukah kawan...
Mungkin hari ini kita tak melihat lebih dalam nilai-nilai dasar perjuangan
Kita tidak ikhlas akan apa yang kita lakukan
Kita tidak bersyukur dengan apa yang kita dapat
Kita tidak yakin dengan usaha yang dilakukan
Kita lari dari 2 pegangan kuat, Qur'an dan sunnah

Kemanakah arah perjuangan kita hari ini
Kawan....

Sudahilah seteru ini...
Kembali seperti dulu....

Just Beginning (Part One)

Jam di tangan telah menunjukkan pukul 13.05, aku berlari-lari menuju sekretariat LPM yang ada di lantai atas karena telat 5 menit. Hari ini rapat redaksi pertamaku, moga-moga bisa menjadi awal yang baik.

Kakiku berbelok menuju kantor redaksi LPM yang bersebelahan dengan UKM Olahraga. Agak sedikit kecewa saat melihat ke dalam sekretariat LPM hanya ada 3 orang, Herianto, Syahbudin dan Bang Rahim.

“Kak Yanti mane?” tanyaku pada mereka. Hardianti yang biasa dipanggil Yanti adalah Ketua LPM terpilih periode ini.

“Tadi sih ade, tapi keluar tadi same Ambar” jawab Syahbudin yang lagi duduk di bawah sambil menyelonjorkan kakinya.

“Jam berape ni kak rapatnye?” tanya Heri yang tengah melihat Bang Rahim mangutak-atik komputer dengan wajah tak sabaran.

“Jam satu sih sebenarnye....tapi cammane lah, budak-budak belom datang nih....” jawabku sambil duduk di sebelah Syahbudin.

“Hari ini rapat ape kak?” tanya Syahbudin dengan wajah culunnya.

‘Ya ampun.....masak ndak tau rapat ape....’ batinku.

“Rapat redaksi, Budin.......” Syahbudin ngangguk-ngangguk sambil terus berbicara dengan Heri.

Aku beranjak dari duduk dan mulai melihat-lihat arsip koran Warta STAIN yang ada di lemari. Melihat-lihat contoh layout-an karena masih belum ada gambaran tentang desain koran yang baru. Rencana Divisi Penerbitan – Divisi yang aku pimpin – media kampus ini akan terbit dalam 3 edisi yaitu edisi mingguan, edisi bulanan dan edisi tahunan. Ya, mudah-mudahan semua ini bisa berjalan dengan lancar. Aamin.

“Assalamu’alaikum....”

Aku menoleh mendengar salam dari luar kantor LPM. Ternyata Kak Yanti dan Ambar yang datang.

“Wa’alaikumsalam....” Jawab kami dari dalam.

“Dek....sory....tadi Yanti me Ambar ke kantin dulu’...lapar...maklom kalo’ udah lapar ndak bise miker makenye makan dulu’ baru rapat....” Kak Yanti menghampiriku di dekat jendela.

“Ndak pape bah kak, Dian pun baru datang dari rumah ni. Yang laennye kemane ye?” Aku melirik jam di layar handphone yang udah menunjukkan pukul 13.25.

“Lilis me Ka’ Erni tadi’ sih ke Prodi Kak,” Jawab Ambar.

Aku duduk di sebelah Kak Yanti yang tengah melihat-lihat catatan di bukunya sambil berbicara dengan Ambar.

“Udah jam berape nih??? Jadi ndak rapatnye??” tanya Heri gelisah.

“Tunggu lah lok Mak Nyah.....” seru Kak Yanti sambil menggoda Heri dengan menyebutnya Mak Nyah. Wajah Heri makin ditekuk dengan mulut yang manyun.

“Sape yang Mak Nyah??” omel Heri pada Kak Yanti. Yang diomel hanya ketawa-ketawa seraya mengambil papan tulis dan spidol.

“Tadi tuh, Dek, Yanti dah ngomelkan si Lilis me Kak Erni. Masak dari kemaren belom-belom lagi nyari pelanggan untuk berlangganan. Mungkin telat kali mereke kesini...”

Aku manggut-manggut sambil mencoret-coret buku agendaku. Bingung dengan pembagian wartawan untuk mencari berita. Media Warta punya wartawan-wartawan yang sudah terlatih dan handal, makanya aku agak lega karena mereka pasti bisa dipercaya untuk mencari berita. Yang aku bingungkan adalah gimana membagi mereka sesuai dengan berita yang udah aku susun. Tak berapa lama, satu-satu para pengurus dan anggota LPM mulai berdatangan. Septian, Suwadi, Pian Hadi, dan yang lainnya berdatangan. Beberapa saat kemudian rapat redaksi pun dimulai (to be continued)

Jumat, 04 April 2008

I'll Be Right Back



“Ayo, Dev, ikutan ke mall,” ajak Ami padaku saat melangkahkan kaki keluar kelas. Selama 2 tahun bersekolah di SMA 21 ini, Ami-lah satu-satunya sahabat terbaikku.

“Aduh, Mi, sory banget ya, bukannya nggak mau, Deva harus jaga toko hari ini” jawabku.

Untuk membantu keuangan keluarga, aku harus bekerja ‘part time’ di sebuah toko buku. Sebenarnya penghasilan Ayah sebagai guru masih cukup membiayai sekolahku dan Dewo, adik lelakiku. Namun karena tawaran ini cukup menarik dan sangat langka lebih baik kuterima saja. Toh, sekalian menyalurkan hobiku yang senang membaca – walaupun disana nggak boleh membaca, paling tidak aku tahu ada buku baru yang keluar – dan selama tidak mengganggu jam sekolahku, why not?

“Alow, Deva!!! Kenapa sih loe, ngelamun?! Ya, udah kalo nggak mau, entar abis dari mall gue singgah ke toko loe” cerocos Ami panjang lebar.

‘Ni anak kalo udah ngomong nggak ada titiknya!’ batinku.

“Oke deh. I’m wait for you!” aku tersenyum dan membelokkan langkahku ke halte bus dekat sekolah.

Teriknya sinar matahari siang itu membuat bajuku sedikit basah karena keringat. Aku tersenyum dan bertegur sapa dengan beberapa orang teman yang kutemui di depan gerbang sekolah. Awalnya aku anak yang pendiam. Terlalu minder dengan fisikku yang pas-pasan. Ditambah dengan kondisi keluargaku yang juga pas-pasan. Aku malu untuk berkenalan dengan orang lain. Tapi lama-kelamaan, aku mulai bisa terbuka dengan orang lain. Ami mengajarkanku untuk tampil apa adanya kita. Dari situ akan ketahuan, mana yang tulus berteman dengan kita, mana yang berteman hanya untuk memanfaatkan kita.

Tak lama kemudian bus yang kutunggu datang juga. Aku menaiki bus yang meluncur ke daerah Senen tempatku bekerja. Pada jam segini bus yang kutumpangi belum terlalu ramai. Buktinya, ketika aku naik, langsung mendapatkan tempat duduk. Jarang sekali bus di Jakarta ini kosong, kecuali pada jam-jam orang belum pulang kerja atau sekolah. Nah, lain halnya kalau aku pergi pada sore hari. Pada jam segitu orang yang baru pulang kerja berebutan naik bus. Dan ada yang lebih memilih naik angkot ketimbang bus.

Di dalam bus, aku membuka komik yang diselipkan diantara buku pelajaran. Aku kagum berat dengan Shinichi Kudo, tokoh detektif karya Aoyama Gosho, yang mengecil dan menyamar menjadi Conan Edogawa. Ami sempat heran denganku. Ternyata bukan hanya buku pelajaran yang kulahap. Komik ataupun novel yang jalan ceritanya aku suka pasti kubaca.

“Biar nggak stres baca buku pelajaran melulu” jawabku ketika Ami bertanya.

Perjalanan yang cukup memakan waktu itu tidak akan terasa jika kita melakukan aktivitas kesukaan kita. Sepertiku yang terlarut dalam komik ini setiap aku mencoba memahami jalan ceritanya. Kalau sudah begini, aku suka lupa waktu. Bahkan kenek bus yang kunaiki sudah hapal kebiasaanku itu. Dan tak segan-segan dia mengingatkanku kalau tempatku bekerja sudah dekat.

“Dev! Udah nyampe” Lagi-lagi kenek yang biasa kupanggil Bang Bud menegurku.

“Oh iya, makasih ya, Bang, udah ngingetin Deva” seruku sambil tersenyum dan membayar ongkos bus padanya.

‘Untung belum telat!’ pikirku.

Sambil menjejalkan komik ‘Detektif Conan’ ke dalam tas, aku terus berjalan ke toko buku tempatku bekerja. Siang-siang begini – tepatnya sekitar jam 2 – anak-anak sekolahan yang sudah pulang sekolah biasanya berkeliaran di sekitar toko buku itu. Awalnya juga aku merasa malu dan risih jika ketahuan teman-teman aku bekerja di sebuah toko buku. Namun lagi-lagi Ami menasehatiku agar selalu enjoy dengan pekerjaanku. Selama pekerjaan yang kulakukan halal dan tidak merugikan orang banyak.

ÿÿÿ

“Malam, Bunda......” sapaku saat menginjakkan kaki di depan pintu rumah.

“Salamnya mana, Dev?” ujar Bunda mengingatkanku.

“Assalamu’alaikum.............”

“Wa’alaikumsalam. Nah, gitu dong! Baru anak bunda!” sahut Bunda yang sedang membereskan meja makan.

“Ayah mana, Bun?” tanyaku sambil celingak-celinguk ke ruang kerjanya.

“Pergi sebentar dengan Dewo. Udah, kamu mandi dulu. Abis itu makan ya!”

“Deva pusing nih, Bunda. Mau tidur dulu, ntar kalo laper pasti bangun sendiri. Yang lainnya makan duluan ya, jangan nunggu Deva” kataku sambil berjalan menuju kamar.

Aku menyimpas tas dan segera mengambil handuk. Lalu pergi ke kamar mandi, menyegarkan tubuhku yang seharian bermandikan keringat. Beberapa bulan terakhir ini aku memang sering merasa pusing. Kata Ami sih karena kecapekan. Hari ini juga begitu, aku merasa ngambang saat di toko. Untung saja bos mengerti dan menyuruhku pulang lebih awal. Setelah mandi, aku segera kembali ke kamar dan berganti baju. Ayah dan Dewo belum juga pulang. Tinggal Bunda yang masih berada di depan televisi. Aku sudah mengantuk sekali. Mungkin pengaruh obat sakit kepala yang aku minum. Tak berapa lama aku sudah tertidur pulas. Dengan handuk yang masih meliliti rambutku.

ÿÿÿ

“Katanya mau singgah ke toko, Mi?!” tanyaku ketika bel istirahat berbunyi. Baru sekarang aku bisa mengobrol dengan Ami. Saat pelajaran berlangsung bukannya tak sempat, tapi tak bisa mengobrol. Pada pelajaran Fisika kami dibagi beberapa kelompok, sayangnya aku dan Ami pisah kelompok. Makanya baru sekarang aku bisa mengobrol dengan Ami.

“Sory. Abis gue keasikan jalan, Dev! Mana pas disana gue kenalan ama cowok ganteng, makanya deh elo kelupaan” cerocosnya dengan centil.

Itulah Ami. Gayanya beda jauh denganku. Anaknya modis, cantik, gaul dan lumayan terkenal di SMA 21 ini karena salah satu donatur di sekolah ini adalah bokapnya. Wajahnya natural sekali dan menggambarkan gadis Indonesia asli. Kulitnya yang sawo matang selalu dirawat dan dijaga. Beda denganku, walaupun kulitku putih tapi kadang menimbulkan bercak merah. Apalagi kalau sudah digigit serangga atau alergiku kambuh. Rambut hitamnya sebahu selalu dibiarkan tergerai. Tidak seperti aku, rambut sebahuku patah-patah dan terkesan kering. Padahal tak kalah hitam dibandingkan rambutnya. Anak ini termasuk anak yang banyak sekali temannya. Anaknya ramah, rendah hati dan tidak pernah memilih teman. Contohnya aku ini. Walaupun berbeda jauh dengan dirinya, dia masih saja mau berteman denganku. Bahkan dia tak segan membantuku jika ada masalah padaku.

“Dasar, Loe!!! Genit amat sih!” aku mencubit lengannya main-main.

“Adaow!!! Sakit tau!! Gue kan udah minta maaf, Dev. Entar gue kenalin deh tuh cowok!” ujarnya sambil melenggang menuju kantin.

“Nggak tertarik tuh!” ucapku santai sambil terus melangkahkan kakiku.

“Eh, mau kemana, Loe?” tanyanya.

“Perpustakaan” jawabku. Dia mengedikkan bahu sambil masuk ke kantin.

“Awas ya kalo minta temenin lagi ke kantin” ujarnya. Aku tersenyum dan terus berjalan menuju perpustakaan.

Sekali lagi aku merasakan sakit kepala. Seperti ada hantaman beton 100 kg ke kepalaku. Anehnya, sakit kepala ini hanya datang sekali-kali. Makanya aku tidak pernah memikirkan hal itu. Aku melangkahkan kaki ke perpustakaan. Entah mengapa aku merasa pandanganku berputar. Tiba-tiba...........

BRUKK!!!

“Sory” kataku. Aku merasa menabrak seseorang di pintu perpustakaan.

“Loe nggak apa-apa?” tanyanya.

Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya. Pandanganku tiba-tiba kabur. Pelan-pelan aku mencoba mengembalikan kekuatanku. Dia masih menatapku. Aku mengenalnya. Dia adalah kakak kelasku, Ryan.

“Halo......loe nggak apa-apa kan?” tanyanya sekali lagi sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan mataku.

“Oh, sory, gue nggak apa-apa kok.”

“Tapi muka loe kok pucat? Loe Devania kan? Pemenang lomba cerpen tahun lalu” katanya lagi.

‘Aneh deh ni orang! Baru ketemu aja udah nyerocos kayak gini!’

“Eng.........iya, Kak. Saya masuk dulu ya” Aku masuk ke perpustakaan dan menuju ke rak buku untuk anak IPA.

“Jangan panggil ‘Kak’ dong, tua banget kesannya” ujarnya sambil menjajarkan langkahnya denganku.

“Perasaan kamu jurusan Bahasa kan? Kok ke bagian IPA?” tanyaku lagi.

“Emangnya nggak boleh?”

“Ya, aneh aja. Bentar lagi kan kelas 3 ujian, masak kamu belajar IPA sih.” Dia tidak menjawab pertanyaanku.

“Kamu kenapa milih jurusan IPA?” Ryan balik bertanya.

“Emangnya nggak boleh?” Aku membalikkan omongannya. Sekilas aku melirik ke arahnya. Dia tersenyum sambil melihat-lihat deretan buku ilmu eksakta didepannya.

“Ya, aneh aja ngeliat kamu yang suka nulis tapi masuknya di jurusan eksakta” ujarnya.

‘Sejak kapan ni orang ngomong pake ‘kamu’ ke aku’ batinku.

“Itu kan cuma hobi” Aku menemukan buku tentang Biologi dan duduk di meja perpustakaan. Dan lagi-lagi, Ryan mengikutiku.

“Kita belum kenalan kan?” sahutnya saat aku asyik membaca buku.

“Kamu kan udah tau nama aku” jawabku singkat.

“Tapi kamu belum tau namaku”

“Ryan Siswanto. Jurusan Bahasa, kapten tim sepak bola yang baru saja menjuarai kejuaraan yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi, UI..........” jelasku.

“Wah, ternyata kamu banyak tau tentang aku ya!”

“Masak anak koran sekolah nggak tau hal yang begituan”

“Oya? Berarti aku masih belum banyak tau tentang kamu dong”

‘Emangnya seberapa banyak kamu tau tentang aku? Ganggu aja orang lagi baca buku!!!’ dumelku dalam hati.

KRINGG!!!!!!!!

‘Alhamdulillah, udah bel masuk!’

“Aku masuk dulu ya!” kataku cepat sambil mengembalikan lagi bukunya ke rak buku. Aku segera berjalan keluar perpustakaan. Bukannya sombong, tapi aku masih agak risih ngomong sama orang yang belum aku kenal dekat.

“Eh, tunggu dong! Bareng ya!” katanya sambil tersenyum. Anaknya sih lumayan cakep. Tapi terlalu sempurna di mataku. Dan terlalu banyak tahu. Tentangku, especially.

Tidak ada pembicaraan yang berarti waktu kami berjalan menuju kelas. Aku hanya menjawab dengan singkat. Dan dia tidak bertanya lebih jauh. Mungkin dia tahu arti diamnya diriku. Hehehe.........

ÿÿÿ

“Deva!!!” aku tersentak dari lamunan ketika teriakan Ami singgah di telingaku.

“Nggak ada kerjaan ya, Non!” sungutku.

“Sory deh, Say! Abis nggak ada kerjaan di rumah. Makanya gue kesini. Gue mau ngajak loe jalan. Sekalian malam mingguan. Kita kan jomblo, Dev!”

“Eh, hati-hati ya. Ketahuan ngobrol ama pengunjung entar gue digerek ama bos!! Mana bisa gue jalan, kan masih jam kerja.”

“Tenang aja, gue ini kok!! Udah gue izinin” sahutnya.

‘Ya, orang kaya pasti dipandang lebih dengan orang..........’

“Bukannya gue sombong, Dev! Tapi sekali-kali bolehlah loe hang out bareng gue” Ami seperti tahu pikiranku.

“Iya deh! Gue juga mual nih ngeliat buku melulu, abisnya belum ada buku baru yang keluar. Jadi nggak bisa baca deh!” candaku.

“Dasar, Loe! Yuk, cabut!” katanya sambil menarik tanganku.

Setelah pamitan dengan Pak Wahyu, bos-ku, aku langsung mengambil tas di penitipan dan mengganti baju. Rasanya tidak lucu jalan dengan Ami memakai baju ‘dinas’ku.

Kami segera menuju mobil Honda Jazz-nya Ami. Walaupun masih SMA, Ami dibolehkan menyupir sendiri oleh orangtuanya. Orangtua Ami tidak pernah mengekang kebebasan anaknya. Selama kebebasan itu dipergunakan dengan penuh tanggung jawab oleh Ami. Ami segera meluncurkan mobilnya ke Plasa Senayan. Tempat yang cukup jauh dari tempat kerjaku. Itu adalah tempat favorit Ami untuk menghabiskan akhir pekannya seperti hari ini.

“Kemarin gue liat, loe jalan ama Ryan ke kelas” katanya memecahkan kesunyian.

“Trus?” jawabku sambil membaca komik kesukaanku.

“Ya, ampun, Deva!!! Ini Ryan lho, rebutan anak-anak cewek di sekolah”

“So?”

“Ah, elo kok gitu, Dev! Jarang lho ada cewek yang dekat dengan dia. Gue aja belum pernah ngobrol lama ama dia....”

“Apalagi gue kan?”

“Maksud, Loe?”

“Ya, elo aja primadona sekolah nggak dilirik ama dia. Apalagi gue yang nggak ada apa-apanya dibanding elo” jawabku santai sambil masih fokus membaca. Tepatnya pura-pura fokus.

“Kok elo ngomong gitu sih? Gue paling nggak suka elo banding-bandingin gitu. Elo cantik kok, Dev. Cantik dari dalam. Tinggal dipoles aja”

“Emangnya gue mobil pake dipoles. Iya, gue cantik dari dalam. Tapi elo luar dalam, Mi..........”

“Plis deh, Deva...... Ryan pasti ngeliat loe itu spesial, kalo nggak masak dia deketin loe...........bukannya gue nyinggung loe, Dev. Tapi yakin deh dengan gue” Aku tersenyum sambil melihat wajahnya.

‘Nggak mungkin gue ngalahin loe, fren!’

Mobil yang dikendarai Ami membelok ke parkiran Plasa Senayan. Kami turun dari mobil dan segera masuk ke PS. Hari Sabtu begini, yang namanya tempat hiburan atau sejenis mall tidak pernah sepi pengunjung. Dapat dilihat anak-anak ABG berkeliaran di sekitar PS. Sebenarnya aku tidak terlalu suka keramaian. Sakit kepalaku pasti kambuh lagi. Apalagi di tempat yang full AC seperti ini. Aku tidak pernah nyaman ketika puluhan mata melihat ke arah kami. Aku selalu berpikir mereka melihat Beauty and the beast jalan kearah mereka. Tapi Ami selalu mengerti jalan pikiranku. Dia selalu membuat aku go to earth lagi.

Seperti biasa, aku diajak Ami berkeliling. Mengunjungi toko-toko langganannya. Tak jarang dia membelikan sesuatu untukku atau untuk Dewo. Maklum, dia anak bungsu, kakaknya mengambil program pascasarjana ke Jepang. Jadi tinggallah dia sendiri di Indonesia ini, dengan orangtuanya tentu. Tapi orangtuanya juga jarang pulang. Ayah Ami tugas di Singapura sebagai diplomat, Ibunya pasti mengikuti Ayahnya bekerja. Tadinya Ami juga diajak pindah. Tapi dia tidak pernah mau. Malas mengurus kepindahannya, mulai dari paspor, visa, dan lainnya. Belum lagi masalah sekolahnya.

“Dev!! Elo kenapa sih?” tanyanya saat aku melamun.

“Oh, nggak apa-apa kok. Gue hanya ngeliatin bangunan ini. Pasti orang yang membuatnya ahli fisika” bohongku.

“Bukan itu! Tapi muka loe tuh pucat banget, loe sakit ya?” tanyanya sambil menempelkan tangannya ke keningku.

“Nggak kok!”

“Ya, udah. Kita kesana dulu yuk!” ajaknya.

Aku memang merasa pusing hari ini. Ditambah dengan ruangan ber-AC seperti ini membuatku masuk angin. Pingin muntah. Tapi aku tidak mau mengecewakan sahabatku. Aku tetap mengikuti kemana langkah kakinya pergi. Walaupun aku merasa tidak enak badan.

“Dev, liat deh.....” Ami berbalik dan menarikku. “Ya ampun, Deva!!! Hidung loe berdarah!” pekiknya.

Aku segera mengambil sapu tangan yang selalu kubawa dan mengelapnya. Lalu tiba-tiba pandanganku gelap dan kabur. Aku hanya bisa melihat wajah Ami samar-samar.

ÿÿÿ

“Pagi, Dev!” sapa Ami saat aku masuk kelas.

Sudah satu minggu aku tidak masuk sekolah sejak kejadian di PS. Penyebabnya adalah penyakitku. Untungnya aku masih bisa sembuh selama satu minggu, hingga aku diperbolehkan sekolah lagi oleh dokter yang merawatku.

“Pagi, Mi” sahutku lemah.

“Udah baikan, Dev? Sakit apa sih?” aku diberondong pertanyaan oleh sobatku ini.

“Ya, udah dong, kalo belum sehat aku nggak sekolah. Dan nggak parah-parah amat kok, Mi, palingan demam aja!”

“Ryan nanyain loe terus tuh!”

“So?” Aku melihat ekspresi kekecewaan di wajah Ami. Aku tidak merespon pertanyaannya dengan antusias.

“Kok loe gitu sih. Ini kan kesempatan buat loe menjalin kasih......”

“Ami........apaan sih! Dia kan belum tentu suka ama gue. Kalo dia deketin gue hanya untuk deket ama loe gimana?”

“Gue tonjok mukanya! Teganya mempermainkan sobatku tersayang!!” katanya sambil memeluk tubuhku.

“Udah dong, Mi! Malu tau, entar disangka kita lines” ujarku asal.

“Idih!!! Nggak mungkin, gue masih normal tau!” serunya sambil melepaskan pelukannya dari tubuhku.

“Beneran loe cuman demam doang?”

“Gak percayaan banget sih ni anak!” omelku.

ÿÿÿ

Hari ini aku tidak pergi ke sekolah lagi. Genap satu bulan aku meninggalkan kelasku. Aku merasakan tubuhku menurun drastis. Sebenarnya apa penyakitku ini?! Bunda dan Ayah tidak pernah mau menjawab pertanyaanku. Apa aku digerogoti kanker ganas?! Gini-gini aku anak IPA. Setidaknya aku tahu ciri-ciri orang yang kena penyakit parah. Ya, seperti aku ini. Mimisan, sering pusing dan rambut rontok. Tapi aku tidak melihat kekhawatiran di wajah Ayah dan Bunda. Itu artinya, penyakitku tidak parah-parah amat. Dan aku lega melihatnya. Setidaknya ada secercah harapanku untuk tetap hidup dan menikmati masa mudaku.

Selama sakit, aku hanya ditemani kertas-kertas puisiku. Ami beberapa kali menjengukku. Dia juga tidak bisa sering menemaniku, karena kakaknya, Ima, baru datang dari Jepang. Ami juga bilang bahwa Ryan sering mencariku. Perkenalan singkat dengannya memang membuatku sedikit simpati. Tapi aku tak pernah mengharapkan lebih darinya. Memang, beberapa hari ini dia sering datang menjengukku. Kata Ami sih, dia maksa-maksa minta alamatku. Percaya atau tidak, aku terlibat omongan yang seru dengannya. Dia memang sastrawan sejati. Jurusan Bahasa memang pilihan yang tepat untuknya. Kadang kami bertukar buku bacaan atau bertukar cerita. Ternyata dibalik kemaskulinannya, ada juga sisi feminisnya. Buktinya dia juga suka nulis puisi dan beberapa kali memenangkan lomba. Namun seiring jalannya waktu dan kesibukannya sebagai kapten tim sepak bola, aktivitasnya menulis sudah agak berkurang. Tidak intens lagi seperti dulu. Dan dia beranggapan aku bisa menjadi penulis besar jika aku terus mengembangkan bakatku ini.

ÿÿÿ

“Pengalaman adalah guru terbaik, dan menulis dari pengalaman adalah awal yang bagus untuk menjadi seorang penulis” tutur Ryan suatu hari saat menjengukku.

“Kenapa nggak ngelanjutin nulis?” tanyaku.

“Sebenarnya mau. Aku rindu saat menuliskan pengalamanku di buku diary. Oya satu lagi, seorang penulis harus punya buku diary, gitu kata guruku! Tapi akhir-akhir ini aku sudah tidak sempat. Kamu taulah, kelas dua kemarin aku disibukkan dengan sepak bola, dan sekarang aku disibukkan dengan persiapan UAN”

“Itu bukan alasan”, ujarku sambil mengubah gaya dudukku – masih di tempat tidur tentunya. “Kalau kita mau, dimanapun dan kapanpun bisa menjadi sumber tulisan. Apalagi kalau jenis tulisan fiksi”

“Benar sih, tapi sekarang aku susah melakukannya. Aku maunya kamu jadikan aku objek tulisanmu” katanya sambil menatap lekat wajahku.

“Becanda! Mana bisa aku jadikan kamu objek kalo nggak sesuai dengan kemauanku”

“Masak selama ini kita dekat kamu nggak terinspirasi” aku tertawa melihat wajah kesalnya.

“Bukannya gitu, Yan, tapi susah aja mau nulis sesuatu tanpa kita rasakan kehadiran sesuatu itu dalam hati dan pikiran kita”

“Jadi aku belum ada dalam hati dan pikiranmu?” tanyanya dengan wajah yang menyiratkan sebuah makna. Tapi aku tak tahu apa makna itu.

“Ya, mungkin belum ada. Masih kemungkinan lho, Yan, jadi kemungkinan ada kan juga masih besar” Ryan tersenyum dan memandangi kebun dari jendela kamarku.

“Ya, moga-moga aja kemungkinan ada lebih besar dari tidak ada” ujarnya, “Aku pulang dulu ya” sahutnya lagi.

“Ngambek ya?” godaku.

“Nggak kok, cuma aku ngerasa udah lama disini. Tuh liat, udah sore kan” Aku memandang jam di dinding kamarku. Ternyata benar, tidak terasa saat aku ngobrol dengannya. Jujur, aku tidak bisa menafikkan kehadirannya selama ini mampu menggetarkan hatiku. Tapi memang aku belum bisa memasukkannya menjadi objek tulisanku.

Be careful” ujarku singkat.

Take care” katanya sambil tersenyum manis dan keluar dari kamarku. Entah mengapa aku merasa senyum itu senyum terakhir yang aku lihat.

ÿÿÿ

Bau Rumah Sakit melekat di hidungku. Entah sejak kapan aku terbaring disini. Yang aku ingat waktu itu, hanya Ryan yang pulang dari rumahku. Aku melepaskan oksigen yang melekat di mulut dan hidungku. Rasanya sesak menggunakan alat itu. Aku menggerakkan tangan yang sudah penat karena jarang digerakkan.

“Deva udah siuman, Yah” aku mendengar suara Bunda yang samar.

“Bun...” panggilku lemah.

“Jangan bergerak dulu sayang. Tunggu ya, Ayah lagi manggil dokter”

“Deva sakit apa, Bun?”

“Nggak apa-apa kok sayang. Kamu hanya kecapekan aja”

“Nggak mungkin, Bunda. Deva emang ngerasa capek banget. Tapi ini bukan rasa capek biasa, Bun...”

Aku melihat wajah Bunda yang kelihatan capek. Ya, pasti dia kelelahan menjagaku selama aku sakit. Ya, Allah, aku nggak mau nyusahin orang terus. Kasihan orang-orang di dekatku menjadi susah juga. Tak lama kemudian aku melihat Ayah datang dengan seorang dokter. Dokter itu memeriksa tubuhku, entah apa yang ia lakukan dengan tubuhku yang sudah lemah ini.

“Bapak dan Ibu bisa ikut saya sebentar?” tanya dokter itu.

“Sayang, Bunda pergi dulu bentar ya” aku tersenyum dan mengangguk.

Bunda pergi menyusul Ayah dan dokter yang sudah duluan keluar. Tinggallah aku sendiri di kamar ini. Berapa lama aku harus disini? Aku harus sehat biar bisa kembali ke sekolah. Aku sudah rindu dengan sekolahku. Dengan Ami, koran sekolahku, perpustakaan, kantin dan......Ryan.

Pintu kamar terbuka sedikit. Aku pikir Bunda atau Ayah yang datang, tapi ternyata Ami dan Ryan.

“Hai, Mi. Sombong banget sampe baru sekarang jenguk gue” ujarku sambil mencoba tersenyum. Ami menatap iba padaku, begitu juga dengan Ryan.

“Loe kenapa sih nyembunyiin penyakit loe?” tanya Ami.

“Gue nggak sakit apa-apa kok. Bunda bilang gue kecapekan aja. Buktinya sekarang gue udah sehat” jelasku. Ryan menatapku tanpa mengatakan sepatah katapun. “Apa kabar, Yan?” tanyaku padanya.

“Selalu baik” katanya sambil tersenyum. Senyum yang selama ini kurindukan. Entah sejak kapan itu.

“Loe sendirian, Dev?” aku menggeleng.

“Ayah dan Bunda lagi di ruangan dokter. Oya, gue mau keluar, Mi, anterin dong. Sumpek tau nggak!”

Ami mengambil kursi rodaku sementara Ryan membantuku berdiri dan duduk di kursi roda. Ami memilih mundur ketika akan mendorongku. Aku mencium bau parfum Ryan di belakangku.

“Udah berapa lama gue di Rumah Sakit, Mi?” tanyaku.

“Seminggu” aku terkejut mendengar jawaban Ryan.

Kami berjalan-jalan di sekitar Rumah Sakit. Tidak ada pembicaraan yang berarti dari mereka berdua. Hanya Ami yang bercerita mengenai sekolahan. Teman-teman, saat ulangan, guru yang killer, dan lain sebagainya. Banyak sekali hal yang terlewati selama aku tidak masuk sekolah.

“Yang benar, Dok?” Samar kudengar suara Bunda di sebelah apotek. Aku meminta Ryan mendorongku mendekat kesana.

“Iya, kanker otak, walau belum terlalu parah tapi sudah menggerogoti beberapa bagian di otaknya. Makanya Deva sering pusing dan mimisan.......”

Aku seperti tersambar petir mendengarkan pembicaraan itu. Kanker Otak??!! Aku sudah menduganya, gejala yang aku alami memang gejala orang yang terkena kanker, tapi aku masih belum percaya. Aku masih ingin hidup lebih lama. Aku merasakan dekapan seseorang saat aku ambruk kebawah. Aku anfal lagi.

ÿÿÿ

“Dev......elo udah siuman?” samar aku mendengar suara Ami di telingaku.

“Mi......Bunda mana?” tanyaku sambil menggenggam tangannya di sampingku.

“Pulang sebentar. Kasihan Bunda dari kemarin jagain loe, makanya gue suruh istirahat di rumah biar gue ama Ryan jagain loe disini. Bunda juga belum tau elo udah tau tentang penyakit loe......”

“Kasian Bunda, Ayah, kalian semua. Semua gara-gara gue, Mi!! Coba gue nggak sakit, gue bodoh banget ya, masak anak IPA nggak tau penyakit sendiri”

Air mata yang susah payah kutahan akhirnya bobol juga. Aku menyesali keadaanku sekarang. Aku sudah menyusahkan banyak orang. Ya, Allah!!! Aku pengen marah sama Engkau. Tapi nggak mungkin kan, Kau yang udah memberikan semua cobaan ini ama aku dan aku hanya hamba-Mu yang lemah, aku sudah nggak bisa apa-apa, tinggal menunggu malaikat-Mu menjemputku di dunia ini.

“Tapi gue tau kok, Mi......ini nggak akan lama kan?” Ami mengangguk, “Ya, nggak akan lama lagi, ‘coz I’ll die......”

Stop it, Dev!!!” tiba-tiba Ryan udah ada di samping tempat tidurku. Dia menatapku tajam dengan mata elangnya.

It’s not your business!!” balasku. Ya, ini memang bukan urusan dia. Siapa sih dia? Baru beberapa bulan dekat denganku sudah mencampuri urusan lebih jauh.

“Kamu nggak paham juga ya! Untuk apa selama ini aku dekat ama kamu?”

“Aku tau, Yan” jawabku lemah, tapi mampu membuatnya lebih mendekat ke sampingku, “Kamu ingin jadi aktor dalam tulisanku kan?! Itu sia-sia aja, Yan, kamu nggak pernah jadi objek dalam tulisanku karena aku akan meninggal......”

“Dev, gue kecewa ama loe,” ujar Ami memotong pembicaraanku dengan Ryan, “Deva yang gue kenal selalu optimis dengan dirinya, nggak seperti yang sekarang ini. Loe seakan dikalahkan dengan keadaan loe, Dev! Loe nggak bisa menerima kenyataan yang harus loe hadapi.......”

“Loe yang buat gue kuat, Mi, bukan diri gue sendiri. Gimana gue mau optimis kalo gue tau penyakit yang gue derita ini sudah banyak memakan korban.......”

Up to you, gue keluar bentar......” sahutnya seraya melangkahkan kaki keluar kamar.

Sejenak keheningan melandaku dan Ryan. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sejujurnya aku senang berdua dengan Ryan. Namun jika melihat kenyataan diriku yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini..........

Be my girl, Dev” Aku mengerutkan dahi mendengar pernyataan Ryan barusan. Itu kalimat pernyataan, bukan pertanyaan. Dia udah yakin aku akan menerimanya. Siapa yang nggak senang ‘dilamar’ pria seperti Ryan. Lagi-lagi, aku harus melihat KONDISIKU SEKARANG.

Are you crazy?

No. I really like you. I love you, exactly

Bullshit, Yan! Kamu kasian kan dengan keadaan aku! Makanya kamu ngomong ngawur kayak gitu!! Di luar sana banyak cewek sehat yang bisa jadi pacar kamu, kenapa harus aku?”

Listen to me!!” Aku terperangah dan menatap matanya. Harus kuakui, ada ketulusan disana. Aku bisa melihatnya.

“Devania Larasati........aku udah memperhatikanmu sejak menang lomba cerpen itu. Diam-diam aku mencari informasi tentang kamu, I love you at first sight........Entah mengapa aku bisa merasakan perasaan seperti itu. Aku sadar itu bukan perasaan kagum semata......” tuturnya sambil meraih tanganku yang terkulai lemah.

Aku menangis lagi. Betapa indahnya perasaan seperti ini. Ya, Allah.....tidak bisakah kau berikan aku hidup sebentar lagi. Setidaknya untuk mencintai dan membahagiakan pria ini. Setidaknya aku bisa merasakan hari-hariku dengannya, bukan seperti ini. Menghabiskan waktu di rumah sakit dan perlahan-perlahan meninggalkan mereka semua yang menyayangiku. Ryan mengusap air mata di wajahku. Baru kali ini aku melihat wajahnya begitu dekat. Ternyata matanya coklat. Aku tersenyum.

“So?” Ryan menanti jawabanku.

“Aku.............”

“Deva!!” suara Ami mengagetkan kami berdua. “Dev, elo bisa disembuhin......” sejenak aku terperangah, “Gue udah nelpon Papa di Singapura. Dia bilang disana ada rumah sakit yang bagus, Dev. Banyak orang Indonesia yang berobat disana, loe mau kan, Dev? Ntar gue nganterin loe, gue...........”

“Thank’s, Mi” Aku memotong perkataanya. “Gue nggak mau mimpi terlalu tinggi..........”

“Apaan sih loe!!! Gue udah nelpon Ayah dan Bunda. Mereka setuju kok, masalah biaya jangan kuatir deh......”

“Mi, loe udah banyak bantuin gue. Dan ini terlalu berlebihan buat gue......”

“Udah jangan banyak omong, pokoknya loe pergi!” ujarnya langsung keluar kamar.

‘Ni anak kambuh lagi penyakit suka maksa’ dumelku dalam hati. Hampir saja aku kelupaan ada Ryan di kamar. Dia menghampiriku lagi dan berbisik di telingaku.

ÿÿÿ

Sebentar lagi aku akan menjalani kemoterapi. Akhirnya aku menerima tawaran Ami. Kalau bukan paksaan dari kedua orangtuaku aku pasti tidak mau. Dia menemaniku ke Singapura. Sekalian menjenguk kedua orangtuanya. Aku juga masih ingat janji seseorang di rumah sakit di Jakarta. Setidaknya aku punya keinginan untuk sembuh. Aku ingin membahagiakan orang-orang yang sudah bersusah payah menjagaku, menyayangiku dan selalu membantuku.

I swear, I will waiting for you here” begitu kata Ryan. Dia masih saja baik padaku. Padahal aku masih belum memberikan jawaban atas pernyataannya beberapa waktu lalu.

“Loe udah siap, Dev?” Ami membuyar lamunanku. Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruang kemoterapi. “Kata dokter, kanker loe belum terlalu menyebar. Untungnya cepat ketahuan, makanya bisa diobati......”

Sebelum ke ruangan kemoterapi, aku membaca kertas yang selalu kubawa. Puisi dari Ryan.

Akhirnya kudapatkan kau

Malaikat kecilku

Walaupun ragaku belum menyatu dengan ragamu

Tapi jiwaku selalu ada di jiwamu

Sampai raga ini tak lagi ada

Aku berjanji selalu menjaga cintaku untukmu

Aku ingin kau tahu

Malaikat kecilku

Aku akan menunggumu

Karena aku tahu

Kau pergi hanya sementara

Saat kau kembali

Sayapmu yang hampir rapuh

Akan kembali kokoh

Dan kita akan bersama

Melewati warna-warni dunia

Menghabiskan waktu berdua

SELAMANYA...........

For my little angel. Selalu tersenyumlah saat menghadapi cobaan hidup......

Aku tersenyum dan memejamkan mata yang sudah dibasahi dengan air mata. Tiba saatnya aku memasuki ruang pengobatan. I promise, Yan, I’ll be right back for you! batinku.

ÿÿÿ