Sabtu, 28 Februari 2009

Tuhan, Manusia dan Alam


Beberapa dekade balakangan ini, bencana alam sering sekali terjadi di Indonesia ini. Di beberapa surat kabar lokal dan nasional beberapa bulan terakhir selalu menampilkan headline mengenai fenomena alam yang sedang melanda Indonesia. Mulai dari banjir yang melanda sebagian kawasan di Pulau Jawa dan Bali. Gempa berkekuatan antara 6 hingga 7 skala richter yang kembali hadir di Sumatera, tanah longsor, dan masih banyak lagi peristiwa yang berkenaan dengan alam yang terjadi di bumi pertiwi kita. Kejadian ini tidak hanya merugikan manusia itu sendiri, tapi juga makhluk hidup lain yang tinggal di dunia ini.
Bencana alam yang sering terjadi tiga tahun belakangan ini banyak diartikan oleh masyarakat karena Tuhan murka dengan manusia. Pernyataan ini terlontar karena memang apabila dilihat beberapa bencana diatas disebabkan karena Tuhan marah melihat ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab. Seenaknya mengeksploitasi sumber daya alam yang terkandung di bumi indonesia ini. Akan tetapi, akibat dari hal itu bukan lantas Tuhan murka dengan manusia. Semua hubungan kausalitas itu merupakan hukum alam (baca: sunatullah), siapa yang menanam benih dia juga yang akan memanennya. Artinya siapa yang berbuat maka dia lah yang harus bertanggungjawab.
Alam merupakan sesuatu yang berada di ruang dan waktu yang merupakan ciptaan Tuhan. Sama halnya dengan manusia yang juga berada dalam ruang dan waktu yang sama dengan alam. Bagi mereka yang menganut paham naturalis, alam ini merupakan sesuatu yang sangat suci, sakral. Maka mereka akan memperlakukan alam ini dengan sebaik mungkin. Akan tetapi, karena dalam paham ini alam lebih superior, terkadang “ayat Tuhan” tidak dipandang sebagai sebuah komponen yang utama untuk bisa membaca alam secara keseluruhan (Eka Hendry, 2003: 11).
Fenomena alam yang terjadi saat ini tidak lain dan tak bukan karena manusia belum bisa memaksimalkan potensi akal yang diberikan Tuhan kepadanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Az-Zumar: 21, yang artinya Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal itu.
Pada ayat tersebut, saya interpretasikan bahwa Tuhan benar-benar memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir. Bagaimana seharusnya manusia menggunakan akal untuk menjaga dan memelihara tumbuhan yang ada di alam. Bukannya merusak, mengeksploitasi dan menghancurkan, hingga pada akhirnya secara alami penyerapan air oleh tumbuhan berkurang dan air jadi melimpah sampai pada titik meluap menjadi banjir. Ternyata memang benar bahwa ketika manusia bisa mengoptimalkan akal pikirannya dengan mempelajari ilmu alam dengan ayat-ayat Tuhan, maka akan terkandung ilmu yang sangat besar di dalamnya.
Keseimbangan alam sebenarnya bisa terjaga dengan baik apabila manusia memahami keteraturan alam yang ada di dunia. Misalnya, apabila pohon banyak ditebang maka tidak ada lagi penyerapan air di tanah sehingga dapat menjadi banjir, membuang sampah di sembarang tempat juga dapat mengakibatkan banjir, penggunaan zat freon yang terdapat di minyak wangi dan beberapa bahan lainnya dapat menyebabkan pemanasan global dan es di kutub akan mencair, atau pembakaran hutan untuk membuka lahan ternyata bisa mengakibatkan polusi dan kabut asap yang menyebabkan penyakit ISPA, dan masih banyak lagi hal lainnya.
Selain akal pikiran yang diberikan Tuhan kepada manusia, manusia juga memilik nafsu. Baik itu nafsu untuk menjadi lebih baik atau nafsu yang mengarah ke hal yang buruk. Nafsu untuk memiliki uang sebanyak-banyaknya juga terkadang mengalahkan akal untuk berpikir baik atau buruk. Contohnya, penebangan hutan liar di Kalimantan Barat ini akan menghasilkan uang bermilyaran rupiah tanpa melihat akibat yang ditimbulkan. Paham kapitalisme, materialisme, hedonisme dan sejenisnya telah merasuk dalam diri manusia hingga tidak lagi bisa menggunakan akal pikirannya dengan baik. Segala sesuatunya selalu diperhitungkan dengan uang, istilahnya uang selalu dijadikan prioritas utama dalam hidup.
Berbagai realitas diatas bisa berubah selama manusia yang dianggap sebagai pemimpin di muka bumi ini bisa memaksimalkan potensi akal pikirannya. Selain itu, melihat lebih jauh kedepan mengenai akibat apa yang akan terjadi apabila nafsu-nafsu jahat itu masih menghantui manusia. Karena generasi yang akan datang lah yang menikmati hasil dari apa yang telah kita lakukan hari ini. Indonesia sudah terpuruk, jangan sampai 10 tahun yang akan datang negeri ini akan hancur karena ulah tangan manusia itu sendiri. Semoga!

Jangan Jauhi Mereka!


Di salah satu sudut kota, salah satu dari mereka ada yang meringkuk di dalam rumah, terasing dalam ketidakberdayaan mereka. Ada yang hidup diliputi dengan perasaan penuh dendam dan kebencian. Ada yang terbaring lemah menunggu maut menjemput. Bahkan ada yang bisa tertawa lebar menatap masa depan yang masih diliputi misteri kehidupan. Itulah beberapa gambaran manusia yang terkena virus Human Immunodeficiency Virusses (HIV). Virus dengan penyakit yang bernama Acquire Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ini seolah menjadi momok dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Banyak yang menganggap penyakit ini adalah penyakit kutukan dari Tuhan karena perbuatan penderita itu sendiri. HIV AIDS merupakan penyakit yang belum ada obatnya di dunia.
HIV adalah virus yang menginfeksi sel-sel yang ada dalam tubuh manusia dan mereplikasinya (membuat copy-an yang baru dari sel-sel tersebut). Virus tersebut juga dapat merusak sel manusia yang bisa membuat seseorang sakit. Pengertian lain dari HIV yang paling mudah dipahami oleh masyarakat adalah hilangnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mudah terserang penyakit. Virus HIV ini dapat masuk dalam tubuh manusia melalui darah. Seperti yang kita ketahui penularannya bisa melalui jarum suntik yang dipakai bersamaan atau melakukan seks bebas. Seeorang yang terkena virus HIV ini biasanya disebut HIV positif.
Penderita HIV AIDS atau yang biasa disebut Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) biasanya tinggal menunggu waktu kapan penyakit itu akan berakhir. Karakter orang-orang yang terkena HIV AIDS ini sangat berbeda-beda. Ada yang bisa menerima kenyataan dan tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa. Dan ada yang memilih mengasingkan diri di rumah karena malu atau takut dengan pandangan masyarakat terhadap dirinya. Dari segi fisik, penderita HIV AIDS masihlah sama dengan manusia normal lainnya. Akan tetapi, ketika virus itu sudah mulai menggerogoti tubuhnya maka akan terlihatlah tanda-tanda orang yang terkena virus HIV ini.
Di Indonesia sendiri banyak berdiri lembaga-lembaga yang menangani permasalahan penderita HIV AIDS. Kebanyakan berbentuk lembaga sosial dan pekerjanya juga kebanyakan dari penderita itu sendiri. Pembinaan yang paling berat dilakukan bagi penderita adalah pembinaan mental. Karena tidak semua orang bisa menerima orang dengan penyakit AIDS ini. Oleh karena itu, seseorang yang terkena penyakit ini biasanya dibina mentalnya terlebih dahulu sebelum terjun ke masyarakat.
Hukum masyarakat dapat dikatakan merupakan hukum terberat yang harus diterima oleh para ODHA. Betapa tidak, omongan, cemoohan, sikap mengucilkan, biasanya datang dari masyarakat itu sendiri. Padahal tidak semua penderita AIDS ini datang dari mereka yang menggunakan obat-obatan terlarang atau mereka yang melakukan seks bebas. Orang yang terjangkit virus ini juga bisa terjadi karena kesalahan penggunaan jarum suntik. Atau yang biasa terjadi adalah hubungan perkawinan tanpa mengetahui latar belakang pasangannya masing-masing. Oleh karena itu, sudah seharusnya lah kita menghargai mereka, sebagai saudara, sebagai sahabat. Orang yang berilmu bukan dari apa yang ia dapatkan tapi apa yang ia hasilkan. Sebagai orang yang berilmu sudah selayaknya kita memberi tahu sesama dengan bahasa yang baik, bukan malah menjatuhkan seseorang karena tingginya sikap arogan dalam diri.

Hukum dan Masyarakat Kalbar


Dalam hubungan bermasyarakat tentunya memiliki sebuah aturan hukum yang jelas. Intinya tentu saja untuk mengikat sesuatu yang dinilai ‘buruk’ untuk dilakukan. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi di Kalimantan Barat. Baru-baru ini terjadi inspeksi mendadak (sidak) Kepala Polisi Republik Indonesia (KAPOLRI) Jenderal Sutanto ke daerah Kalbar. Inspeksi ini berkaitan dengan permasalahan Illegal Logging yang sudah meresahkan masyarakat. Ternyata setelah diusut, di daerah Ketapang, anggota kepolisian juga ada yang terlibat sindikat penjualan kayu ilegal tersebut. Dari permasalahan diatas, dapat kita lihat bahwa pihak kepolisian tidak dapat menjadi patokan sebagai penegak hukum. Toh, mereka sendiri terlibat dengan permasalahan tersebut. Di beberapa lokasi di Indonesia sering kita dengar pemberitaan mengenai anggota kepolisian atau penegak hukum lainnya yang terlibat dengan sindikat Narkoba, terlibat hubungan dengan PSK, dan lain sebagainya. Di Kalbar sendiri, hal yang kecil seperti razia kendaraan bermotot juga sering disalahgunakan oleh oknum kepolisian.
Karena itu, sikap proaktif masyarakat sendiri sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum di Kalbar. Pontianak khususnya, sering sekali kita lihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Baik itu yang tampak maupun tidak. Misalnya, pelanggaran lalu-lintas, beberapa orang kita lihat sering melanggar lampu merah di jalan. Entah karena ingin cepat sampai di tempat tujuan atau karena mata pengendara itu bermasalah (baca: buta warna), seenaknya menyalip kendaraan lain atau menggeber kendaraannya dengan kecepatan maksimal. Jika ada kecelakaan, tidak ada satupun yang mau bertanggung jawab, malahan melarikan diri dari lokasi kecelakaan. Selain itu, pencurian listrik juga sudah banyak meresahkan warga, dan merugikan pemerintah tentunya. Akan tetapi, pengusutan di bidang itu sering terbengkalai. Ditambah lagi, sebulan belakangan ini, di beberapa gang di Pontianak atau di jalan-jalan raya sering juga anak-anak kecil terlihat asyik bermain dengan layangannya. Berlari-lari mengejar layangan tanpa melihat keadaan jalan yang sedang ramai. Apabila anak tersebut tertabrak, siapa yang akan disalahkan? Padahal undang-undang tentang permainan layangan yang dikeluarkan Pemerintah Kota telah jelas melarang permainan layangan di jalanan. Lalu bagaimana tindak lanjut dari undang-undang tersebut? Bagaimana Pemerintah menangani hal tersebut? Apakah menunggu korban akibat gelasan layangan baru akan turun melihat?
Sebenarnya permasalahan penegakan hukum tidak mesti diserahkan sepenuhnya dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Sebagai masyarakat yang taat dan tahu hukum semestinya kita paham ‘wilayah-wilayah’ mana yang harus dijauhi dan dipatuhi menurut hukum. Dalam hal ini kita bisa mencontoh beberapa negara di Eropa seperti Jerman, Belanda dan Perancis. Betapa tertib dan disiplinnya warga disana. Walaupun tidak ada polisi yang berkeliaran mereka tetap mematuhi peraturan lalu-lintas, meski sedang sepi sekalipun. Mereka selalu tepat waktu, membudayakan antri, menghargai orang lain dan memiliki sikap toleran yang tinggi. Melihat kondisi diatas, menurut saya wajar saja bila negara Indonesia ini tertinggal sangat jauh di belakang negara-negara maju seperti itu. Apalagi hanya sebuah Provinsi seperti Kalimantan Barat ini, yang notabene merupakan sebagian kecil wilayah Indonesia. Seperti kata juru dakwah, Abdullah Gymnastiar, mulailah sesuatu dari hal yang kecil, dari diri sendiri dan mulai saat ini. Bila bukan kita yang memulai untuk menegakkan hukum, siapa lagi yang akan melakukannya. Biarlah dari hal-hal yang kecil dulu, misalnya mengantri pada saat mengisi bensin, atau hal-hal lainnya yang membuat kita dapat menghargai setiap detik dan setiap orang di berbagai kesempatan.
Oleh karena itu, dari berbagai paparan diatas, penulis berharap kita semua dapat menghargai hukum yang berlaku di bumi yang kita pijak ini. Baik itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis, hukum adat atau negara. Karena untuk menegakkan sebuah aturan bukannya hanya tugas para penegak hukum, tetapi juga tugas kita semua selama kita masih berpijak di Kalimantan Barat ini. Apabila susah untuk menyadarkan orang lain, berusahalah untuk menyadarkan diri sendiri dulu mengenai arti pentingnya hukum dan aturan yang mengikat kita untuk menjadi masyarakat yang tertib dan teratur dalam menjalani kehidupan. Semoga!

Dilema Anak Jalanan


Siang itu matahari bersinar cukup terik. Aku baru saja pulang dari kampus. Aku terus memacu motor di jalan Ahmad Yani yang masih sepi. Tiba-tiba lampu merah menyala di depanku sehingga aku harus memperlambat laju motorku dan berhenti.

Di sampingku ada seorang anak kecil yang menengadahkan kaleng bekas untuk meminta sedekah. Aku tersenyum dan kembali menatap jalanan. Bukan maksud mengacuhkannya, tapi aku melihat anak itu cukup mampu untuk bekerja daripada mengemis.

Lampu hijau telah menyala dan aku kembali menjalankan motorku. Di sepanjang jalan aku terus mengingat bocah itu. Sungguh ironis ketika anak seusianya – sekitar umur 8 tahun – menjadi anak jalanan. Padahal anak-anak lainnya sedang asyik belajar di bangku sekolah.

Aku sempat berpikir, bagaimana penerapan UUD ’45 pasal 34 yang menyebutkan bahwa anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Buktinya, masih banyak anak-anak seperti bocah itu yang berkeliaran di jalanan. Hidup tak tentu arah di jalanan. Tentunya hal ini sudah merupakan tindakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan. Akan tetapi, sepertinya pemerintah tidak ambil pusing untuk mengatasi permasalahan ini.

Hampir setiap bulan kita dapat mendengar bahkan melihat berita yang disiarkan melalui media massa mengenai razia anak jalanan. Gepeng! Begitu mereka disebut. Gelandangan dan pengemis yang rata-rata masih mampu untuk bekerja itu dijaring untuk diberikan keterampilan agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bukan menjadi anak jalanan.

Entah akan jadi apa bangsa ini jika generasi yang akan datang tumbuh dari lingkungan seperti itu (baca: jalanan). Anak-anak itu nantinya akan menjadi generasi penerus, pemimpin dan pemegang tongkat estafet zaman. Oleh karena itu, kita juga harus berpikir bagaimana menjadikan mereka anak-anak yang berguna bagi bangsa. Bagaimana menjadikan mereka pemimpin bangsa dengan tangan dan harta yang kita miliki. Masih banyak yang dapat kita lakukan untuk mereka. Waktu, tenaga dan harta masih dapat kita berikan selama kita mampu. Akan tetapi, niat dan kemauanlah yang menentukan semua itu.