Jumat, 04 April 2008

I'll Be Right Back



“Ayo, Dev, ikutan ke mall,” ajak Ami padaku saat melangkahkan kaki keluar kelas. Selama 2 tahun bersekolah di SMA 21 ini, Ami-lah satu-satunya sahabat terbaikku.

“Aduh, Mi, sory banget ya, bukannya nggak mau, Deva harus jaga toko hari ini” jawabku.

Untuk membantu keuangan keluarga, aku harus bekerja ‘part time’ di sebuah toko buku. Sebenarnya penghasilan Ayah sebagai guru masih cukup membiayai sekolahku dan Dewo, adik lelakiku. Namun karena tawaran ini cukup menarik dan sangat langka lebih baik kuterima saja. Toh, sekalian menyalurkan hobiku yang senang membaca – walaupun disana nggak boleh membaca, paling tidak aku tahu ada buku baru yang keluar – dan selama tidak mengganggu jam sekolahku, why not?

“Alow, Deva!!! Kenapa sih loe, ngelamun?! Ya, udah kalo nggak mau, entar abis dari mall gue singgah ke toko loe” cerocos Ami panjang lebar.

‘Ni anak kalo udah ngomong nggak ada titiknya!’ batinku.

“Oke deh. I’m wait for you!” aku tersenyum dan membelokkan langkahku ke halte bus dekat sekolah.

Teriknya sinar matahari siang itu membuat bajuku sedikit basah karena keringat. Aku tersenyum dan bertegur sapa dengan beberapa orang teman yang kutemui di depan gerbang sekolah. Awalnya aku anak yang pendiam. Terlalu minder dengan fisikku yang pas-pasan. Ditambah dengan kondisi keluargaku yang juga pas-pasan. Aku malu untuk berkenalan dengan orang lain. Tapi lama-kelamaan, aku mulai bisa terbuka dengan orang lain. Ami mengajarkanku untuk tampil apa adanya kita. Dari situ akan ketahuan, mana yang tulus berteman dengan kita, mana yang berteman hanya untuk memanfaatkan kita.

Tak lama kemudian bus yang kutunggu datang juga. Aku menaiki bus yang meluncur ke daerah Senen tempatku bekerja. Pada jam segini bus yang kutumpangi belum terlalu ramai. Buktinya, ketika aku naik, langsung mendapatkan tempat duduk. Jarang sekali bus di Jakarta ini kosong, kecuali pada jam-jam orang belum pulang kerja atau sekolah. Nah, lain halnya kalau aku pergi pada sore hari. Pada jam segitu orang yang baru pulang kerja berebutan naik bus. Dan ada yang lebih memilih naik angkot ketimbang bus.

Di dalam bus, aku membuka komik yang diselipkan diantara buku pelajaran. Aku kagum berat dengan Shinichi Kudo, tokoh detektif karya Aoyama Gosho, yang mengecil dan menyamar menjadi Conan Edogawa. Ami sempat heran denganku. Ternyata bukan hanya buku pelajaran yang kulahap. Komik ataupun novel yang jalan ceritanya aku suka pasti kubaca.

“Biar nggak stres baca buku pelajaran melulu” jawabku ketika Ami bertanya.

Perjalanan yang cukup memakan waktu itu tidak akan terasa jika kita melakukan aktivitas kesukaan kita. Sepertiku yang terlarut dalam komik ini setiap aku mencoba memahami jalan ceritanya. Kalau sudah begini, aku suka lupa waktu. Bahkan kenek bus yang kunaiki sudah hapal kebiasaanku itu. Dan tak segan-segan dia mengingatkanku kalau tempatku bekerja sudah dekat.

“Dev! Udah nyampe” Lagi-lagi kenek yang biasa kupanggil Bang Bud menegurku.

“Oh iya, makasih ya, Bang, udah ngingetin Deva” seruku sambil tersenyum dan membayar ongkos bus padanya.

‘Untung belum telat!’ pikirku.

Sambil menjejalkan komik ‘Detektif Conan’ ke dalam tas, aku terus berjalan ke toko buku tempatku bekerja. Siang-siang begini – tepatnya sekitar jam 2 – anak-anak sekolahan yang sudah pulang sekolah biasanya berkeliaran di sekitar toko buku itu. Awalnya juga aku merasa malu dan risih jika ketahuan teman-teman aku bekerja di sebuah toko buku. Namun lagi-lagi Ami menasehatiku agar selalu enjoy dengan pekerjaanku. Selama pekerjaan yang kulakukan halal dan tidak merugikan orang banyak.

ÿÿÿ

“Malam, Bunda......” sapaku saat menginjakkan kaki di depan pintu rumah.

“Salamnya mana, Dev?” ujar Bunda mengingatkanku.

“Assalamu’alaikum.............”

“Wa’alaikumsalam. Nah, gitu dong! Baru anak bunda!” sahut Bunda yang sedang membereskan meja makan.

“Ayah mana, Bun?” tanyaku sambil celingak-celinguk ke ruang kerjanya.

“Pergi sebentar dengan Dewo. Udah, kamu mandi dulu. Abis itu makan ya!”

“Deva pusing nih, Bunda. Mau tidur dulu, ntar kalo laper pasti bangun sendiri. Yang lainnya makan duluan ya, jangan nunggu Deva” kataku sambil berjalan menuju kamar.

Aku menyimpas tas dan segera mengambil handuk. Lalu pergi ke kamar mandi, menyegarkan tubuhku yang seharian bermandikan keringat. Beberapa bulan terakhir ini aku memang sering merasa pusing. Kata Ami sih karena kecapekan. Hari ini juga begitu, aku merasa ngambang saat di toko. Untung saja bos mengerti dan menyuruhku pulang lebih awal. Setelah mandi, aku segera kembali ke kamar dan berganti baju. Ayah dan Dewo belum juga pulang. Tinggal Bunda yang masih berada di depan televisi. Aku sudah mengantuk sekali. Mungkin pengaruh obat sakit kepala yang aku minum. Tak berapa lama aku sudah tertidur pulas. Dengan handuk yang masih meliliti rambutku.

ÿÿÿ

“Katanya mau singgah ke toko, Mi?!” tanyaku ketika bel istirahat berbunyi. Baru sekarang aku bisa mengobrol dengan Ami. Saat pelajaran berlangsung bukannya tak sempat, tapi tak bisa mengobrol. Pada pelajaran Fisika kami dibagi beberapa kelompok, sayangnya aku dan Ami pisah kelompok. Makanya baru sekarang aku bisa mengobrol dengan Ami.

“Sory. Abis gue keasikan jalan, Dev! Mana pas disana gue kenalan ama cowok ganteng, makanya deh elo kelupaan” cerocosnya dengan centil.

Itulah Ami. Gayanya beda jauh denganku. Anaknya modis, cantik, gaul dan lumayan terkenal di SMA 21 ini karena salah satu donatur di sekolah ini adalah bokapnya. Wajahnya natural sekali dan menggambarkan gadis Indonesia asli. Kulitnya yang sawo matang selalu dirawat dan dijaga. Beda denganku, walaupun kulitku putih tapi kadang menimbulkan bercak merah. Apalagi kalau sudah digigit serangga atau alergiku kambuh. Rambut hitamnya sebahu selalu dibiarkan tergerai. Tidak seperti aku, rambut sebahuku patah-patah dan terkesan kering. Padahal tak kalah hitam dibandingkan rambutnya. Anak ini termasuk anak yang banyak sekali temannya. Anaknya ramah, rendah hati dan tidak pernah memilih teman. Contohnya aku ini. Walaupun berbeda jauh dengan dirinya, dia masih saja mau berteman denganku. Bahkan dia tak segan membantuku jika ada masalah padaku.

“Dasar, Loe!!! Genit amat sih!” aku mencubit lengannya main-main.

“Adaow!!! Sakit tau!! Gue kan udah minta maaf, Dev. Entar gue kenalin deh tuh cowok!” ujarnya sambil melenggang menuju kantin.

“Nggak tertarik tuh!” ucapku santai sambil terus melangkahkan kakiku.

“Eh, mau kemana, Loe?” tanyanya.

“Perpustakaan” jawabku. Dia mengedikkan bahu sambil masuk ke kantin.

“Awas ya kalo minta temenin lagi ke kantin” ujarnya. Aku tersenyum dan terus berjalan menuju perpustakaan.

Sekali lagi aku merasakan sakit kepala. Seperti ada hantaman beton 100 kg ke kepalaku. Anehnya, sakit kepala ini hanya datang sekali-kali. Makanya aku tidak pernah memikirkan hal itu. Aku melangkahkan kaki ke perpustakaan. Entah mengapa aku merasa pandanganku berputar. Tiba-tiba...........

BRUKK!!!

“Sory” kataku. Aku merasa menabrak seseorang di pintu perpustakaan.

“Loe nggak apa-apa?” tanyanya.

Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya. Pandanganku tiba-tiba kabur. Pelan-pelan aku mencoba mengembalikan kekuatanku. Dia masih menatapku. Aku mengenalnya. Dia adalah kakak kelasku, Ryan.

“Halo......loe nggak apa-apa kan?” tanyanya sekali lagi sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan mataku.

“Oh, sory, gue nggak apa-apa kok.”

“Tapi muka loe kok pucat? Loe Devania kan? Pemenang lomba cerpen tahun lalu” katanya lagi.

‘Aneh deh ni orang! Baru ketemu aja udah nyerocos kayak gini!’

“Eng.........iya, Kak. Saya masuk dulu ya” Aku masuk ke perpustakaan dan menuju ke rak buku untuk anak IPA.

“Jangan panggil ‘Kak’ dong, tua banget kesannya” ujarnya sambil menjajarkan langkahnya denganku.

“Perasaan kamu jurusan Bahasa kan? Kok ke bagian IPA?” tanyaku lagi.

“Emangnya nggak boleh?”

“Ya, aneh aja. Bentar lagi kan kelas 3 ujian, masak kamu belajar IPA sih.” Dia tidak menjawab pertanyaanku.

“Kamu kenapa milih jurusan IPA?” Ryan balik bertanya.

“Emangnya nggak boleh?” Aku membalikkan omongannya. Sekilas aku melirik ke arahnya. Dia tersenyum sambil melihat-lihat deretan buku ilmu eksakta didepannya.

“Ya, aneh aja ngeliat kamu yang suka nulis tapi masuknya di jurusan eksakta” ujarnya.

‘Sejak kapan ni orang ngomong pake ‘kamu’ ke aku’ batinku.

“Itu kan cuma hobi” Aku menemukan buku tentang Biologi dan duduk di meja perpustakaan. Dan lagi-lagi, Ryan mengikutiku.

“Kita belum kenalan kan?” sahutnya saat aku asyik membaca buku.

“Kamu kan udah tau nama aku” jawabku singkat.

“Tapi kamu belum tau namaku”

“Ryan Siswanto. Jurusan Bahasa, kapten tim sepak bola yang baru saja menjuarai kejuaraan yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi, UI..........” jelasku.

“Wah, ternyata kamu banyak tau tentang aku ya!”

“Masak anak koran sekolah nggak tau hal yang begituan”

“Oya? Berarti aku masih belum banyak tau tentang kamu dong”

‘Emangnya seberapa banyak kamu tau tentang aku? Ganggu aja orang lagi baca buku!!!’ dumelku dalam hati.

KRINGG!!!!!!!!

‘Alhamdulillah, udah bel masuk!’

“Aku masuk dulu ya!” kataku cepat sambil mengembalikan lagi bukunya ke rak buku. Aku segera berjalan keluar perpustakaan. Bukannya sombong, tapi aku masih agak risih ngomong sama orang yang belum aku kenal dekat.

“Eh, tunggu dong! Bareng ya!” katanya sambil tersenyum. Anaknya sih lumayan cakep. Tapi terlalu sempurna di mataku. Dan terlalu banyak tahu. Tentangku, especially.

Tidak ada pembicaraan yang berarti waktu kami berjalan menuju kelas. Aku hanya menjawab dengan singkat. Dan dia tidak bertanya lebih jauh. Mungkin dia tahu arti diamnya diriku. Hehehe.........

ÿÿÿ

“Deva!!!” aku tersentak dari lamunan ketika teriakan Ami singgah di telingaku.

“Nggak ada kerjaan ya, Non!” sungutku.

“Sory deh, Say! Abis nggak ada kerjaan di rumah. Makanya gue kesini. Gue mau ngajak loe jalan. Sekalian malam mingguan. Kita kan jomblo, Dev!”

“Eh, hati-hati ya. Ketahuan ngobrol ama pengunjung entar gue digerek ama bos!! Mana bisa gue jalan, kan masih jam kerja.”

“Tenang aja, gue ini kok!! Udah gue izinin” sahutnya.

‘Ya, orang kaya pasti dipandang lebih dengan orang..........’

“Bukannya gue sombong, Dev! Tapi sekali-kali bolehlah loe hang out bareng gue” Ami seperti tahu pikiranku.

“Iya deh! Gue juga mual nih ngeliat buku melulu, abisnya belum ada buku baru yang keluar. Jadi nggak bisa baca deh!” candaku.

“Dasar, Loe! Yuk, cabut!” katanya sambil menarik tanganku.

Setelah pamitan dengan Pak Wahyu, bos-ku, aku langsung mengambil tas di penitipan dan mengganti baju. Rasanya tidak lucu jalan dengan Ami memakai baju ‘dinas’ku.

Kami segera menuju mobil Honda Jazz-nya Ami. Walaupun masih SMA, Ami dibolehkan menyupir sendiri oleh orangtuanya. Orangtua Ami tidak pernah mengekang kebebasan anaknya. Selama kebebasan itu dipergunakan dengan penuh tanggung jawab oleh Ami. Ami segera meluncurkan mobilnya ke Plasa Senayan. Tempat yang cukup jauh dari tempat kerjaku. Itu adalah tempat favorit Ami untuk menghabiskan akhir pekannya seperti hari ini.

“Kemarin gue liat, loe jalan ama Ryan ke kelas” katanya memecahkan kesunyian.

“Trus?” jawabku sambil membaca komik kesukaanku.

“Ya, ampun, Deva!!! Ini Ryan lho, rebutan anak-anak cewek di sekolah”

“So?”

“Ah, elo kok gitu, Dev! Jarang lho ada cewek yang dekat dengan dia. Gue aja belum pernah ngobrol lama ama dia....”

“Apalagi gue kan?”

“Maksud, Loe?”

“Ya, elo aja primadona sekolah nggak dilirik ama dia. Apalagi gue yang nggak ada apa-apanya dibanding elo” jawabku santai sambil masih fokus membaca. Tepatnya pura-pura fokus.

“Kok elo ngomong gitu sih? Gue paling nggak suka elo banding-bandingin gitu. Elo cantik kok, Dev. Cantik dari dalam. Tinggal dipoles aja”

“Emangnya gue mobil pake dipoles. Iya, gue cantik dari dalam. Tapi elo luar dalam, Mi..........”

“Plis deh, Deva...... Ryan pasti ngeliat loe itu spesial, kalo nggak masak dia deketin loe...........bukannya gue nyinggung loe, Dev. Tapi yakin deh dengan gue” Aku tersenyum sambil melihat wajahnya.

‘Nggak mungkin gue ngalahin loe, fren!’

Mobil yang dikendarai Ami membelok ke parkiran Plasa Senayan. Kami turun dari mobil dan segera masuk ke PS. Hari Sabtu begini, yang namanya tempat hiburan atau sejenis mall tidak pernah sepi pengunjung. Dapat dilihat anak-anak ABG berkeliaran di sekitar PS. Sebenarnya aku tidak terlalu suka keramaian. Sakit kepalaku pasti kambuh lagi. Apalagi di tempat yang full AC seperti ini. Aku tidak pernah nyaman ketika puluhan mata melihat ke arah kami. Aku selalu berpikir mereka melihat Beauty and the beast jalan kearah mereka. Tapi Ami selalu mengerti jalan pikiranku. Dia selalu membuat aku go to earth lagi.

Seperti biasa, aku diajak Ami berkeliling. Mengunjungi toko-toko langganannya. Tak jarang dia membelikan sesuatu untukku atau untuk Dewo. Maklum, dia anak bungsu, kakaknya mengambil program pascasarjana ke Jepang. Jadi tinggallah dia sendiri di Indonesia ini, dengan orangtuanya tentu. Tapi orangtuanya juga jarang pulang. Ayah Ami tugas di Singapura sebagai diplomat, Ibunya pasti mengikuti Ayahnya bekerja. Tadinya Ami juga diajak pindah. Tapi dia tidak pernah mau. Malas mengurus kepindahannya, mulai dari paspor, visa, dan lainnya. Belum lagi masalah sekolahnya.

“Dev!! Elo kenapa sih?” tanyanya saat aku melamun.

“Oh, nggak apa-apa kok. Gue hanya ngeliatin bangunan ini. Pasti orang yang membuatnya ahli fisika” bohongku.

“Bukan itu! Tapi muka loe tuh pucat banget, loe sakit ya?” tanyanya sambil menempelkan tangannya ke keningku.

“Nggak kok!”

“Ya, udah. Kita kesana dulu yuk!” ajaknya.

Aku memang merasa pusing hari ini. Ditambah dengan ruangan ber-AC seperti ini membuatku masuk angin. Pingin muntah. Tapi aku tidak mau mengecewakan sahabatku. Aku tetap mengikuti kemana langkah kakinya pergi. Walaupun aku merasa tidak enak badan.

“Dev, liat deh.....” Ami berbalik dan menarikku. “Ya ampun, Deva!!! Hidung loe berdarah!” pekiknya.

Aku segera mengambil sapu tangan yang selalu kubawa dan mengelapnya. Lalu tiba-tiba pandanganku gelap dan kabur. Aku hanya bisa melihat wajah Ami samar-samar.

ÿÿÿ

“Pagi, Dev!” sapa Ami saat aku masuk kelas.

Sudah satu minggu aku tidak masuk sekolah sejak kejadian di PS. Penyebabnya adalah penyakitku. Untungnya aku masih bisa sembuh selama satu minggu, hingga aku diperbolehkan sekolah lagi oleh dokter yang merawatku.

“Pagi, Mi” sahutku lemah.

“Udah baikan, Dev? Sakit apa sih?” aku diberondong pertanyaan oleh sobatku ini.

“Ya, udah dong, kalo belum sehat aku nggak sekolah. Dan nggak parah-parah amat kok, Mi, palingan demam aja!”

“Ryan nanyain loe terus tuh!”

“So?” Aku melihat ekspresi kekecewaan di wajah Ami. Aku tidak merespon pertanyaannya dengan antusias.

“Kok loe gitu sih. Ini kan kesempatan buat loe menjalin kasih......”

“Ami........apaan sih! Dia kan belum tentu suka ama gue. Kalo dia deketin gue hanya untuk deket ama loe gimana?”

“Gue tonjok mukanya! Teganya mempermainkan sobatku tersayang!!” katanya sambil memeluk tubuhku.

“Udah dong, Mi! Malu tau, entar disangka kita lines” ujarku asal.

“Idih!!! Nggak mungkin, gue masih normal tau!” serunya sambil melepaskan pelukannya dari tubuhku.

“Beneran loe cuman demam doang?”

“Gak percayaan banget sih ni anak!” omelku.

ÿÿÿ

Hari ini aku tidak pergi ke sekolah lagi. Genap satu bulan aku meninggalkan kelasku. Aku merasakan tubuhku menurun drastis. Sebenarnya apa penyakitku ini?! Bunda dan Ayah tidak pernah mau menjawab pertanyaanku. Apa aku digerogoti kanker ganas?! Gini-gini aku anak IPA. Setidaknya aku tahu ciri-ciri orang yang kena penyakit parah. Ya, seperti aku ini. Mimisan, sering pusing dan rambut rontok. Tapi aku tidak melihat kekhawatiran di wajah Ayah dan Bunda. Itu artinya, penyakitku tidak parah-parah amat. Dan aku lega melihatnya. Setidaknya ada secercah harapanku untuk tetap hidup dan menikmati masa mudaku.

Selama sakit, aku hanya ditemani kertas-kertas puisiku. Ami beberapa kali menjengukku. Dia juga tidak bisa sering menemaniku, karena kakaknya, Ima, baru datang dari Jepang. Ami juga bilang bahwa Ryan sering mencariku. Perkenalan singkat dengannya memang membuatku sedikit simpati. Tapi aku tak pernah mengharapkan lebih darinya. Memang, beberapa hari ini dia sering datang menjengukku. Kata Ami sih, dia maksa-maksa minta alamatku. Percaya atau tidak, aku terlibat omongan yang seru dengannya. Dia memang sastrawan sejati. Jurusan Bahasa memang pilihan yang tepat untuknya. Kadang kami bertukar buku bacaan atau bertukar cerita. Ternyata dibalik kemaskulinannya, ada juga sisi feminisnya. Buktinya dia juga suka nulis puisi dan beberapa kali memenangkan lomba. Namun seiring jalannya waktu dan kesibukannya sebagai kapten tim sepak bola, aktivitasnya menulis sudah agak berkurang. Tidak intens lagi seperti dulu. Dan dia beranggapan aku bisa menjadi penulis besar jika aku terus mengembangkan bakatku ini.

ÿÿÿ

“Pengalaman adalah guru terbaik, dan menulis dari pengalaman adalah awal yang bagus untuk menjadi seorang penulis” tutur Ryan suatu hari saat menjengukku.

“Kenapa nggak ngelanjutin nulis?” tanyaku.

“Sebenarnya mau. Aku rindu saat menuliskan pengalamanku di buku diary. Oya satu lagi, seorang penulis harus punya buku diary, gitu kata guruku! Tapi akhir-akhir ini aku sudah tidak sempat. Kamu taulah, kelas dua kemarin aku disibukkan dengan sepak bola, dan sekarang aku disibukkan dengan persiapan UAN”

“Itu bukan alasan”, ujarku sambil mengubah gaya dudukku – masih di tempat tidur tentunya. “Kalau kita mau, dimanapun dan kapanpun bisa menjadi sumber tulisan. Apalagi kalau jenis tulisan fiksi”

“Benar sih, tapi sekarang aku susah melakukannya. Aku maunya kamu jadikan aku objek tulisanmu” katanya sambil menatap lekat wajahku.

“Becanda! Mana bisa aku jadikan kamu objek kalo nggak sesuai dengan kemauanku”

“Masak selama ini kita dekat kamu nggak terinspirasi” aku tertawa melihat wajah kesalnya.

“Bukannya gitu, Yan, tapi susah aja mau nulis sesuatu tanpa kita rasakan kehadiran sesuatu itu dalam hati dan pikiran kita”

“Jadi aku belum ada dalam hati dan pikiranmu?” tanyanya dengan wajah yang menyiratkan sebuah makna. Tapi aku tak tahu apa makna itu.

“Ya, mungkin belum ada. Masih kemungkinan lho, Yan, jadi kemungkinan ada kan juga masih besar” Ryan tersenyum dan memandangi kebun dari jendela kamarku.

“Ya, moga-moga aja kemungkinan ada lebih besar dari tidak ada” ujarnya, “Aku pulang dulu ya” sahutnya lagi.

“Ngambek ya?” godaku.

“Nggak kok, cuma aku ngerasa udah lama disini. Tuh liat, udah sore kan” Aku memandang jam di dinding kamarku. Ternyata benar, tidak terasa saat aku ngobrol dengannya. Jujur, aku tidak bisa menafikkan kehadirannya selama ini mampu menggetarkan hatiku. Tapi memang aku belum bisa memasukkannya menjadi objek tulisanku.

Be careful” ujarku singkat.

Take care” katanya sambil tersenyum manis dan keluar dari kamarku. Entah mengapa aku merasa senyum itu senyum terakhir yang aku lihat.

ÿÿÿ

Bau Rumah Sakit melekat di hidungku. Entah sejak kapan aku terbaring disini. Yang aku ingat waktu itu, hanya Ryan yang pulang dari rumahku. Aku melepaskan oksigen yang melekat di mulut dan hidungku. Rasanya sesak menggunakan alat itu. Aku menggerakkan tangan yang sudah penat karena jarang digerakkan.

“Deva udah siuman, Yah” aku mendengar suara Bunda yang samar.

“Bun...” panggilku lemah.

“Jangan bergerak dulu sayang. Tunggu ya, Ayah lagi manggil dokter”

“Deva sakit apa, Bun?”

“Nggak apa-apa kok sayang. Kamu hanya kecapekan aja”

“Nggak mungkin, Bunda. Deva emang ngerasa capek banget. Tapi ini bukan rasa capek biasa, Bun...”

Aku melihat wajah Bunda yang kelihatan capek. Ya, pasti dia kelelahan menjagaku selama aku sakit. Ya, Allah, aku nggak mau nyusahin orang terus. Kasihan orang-orang di dekatku menjadi susah juga. Tak lama kemudian aku melihat Ayah datang dengan seorang dokter. Dokter itu memeriksa tubuhku, entah apa yang ia lakukan dengan tubuhku yang sudah lemah ini.

“Bapak dan Ibu bisa ikut saya sebentar?” tanya dokter itu.

“Sayang, Bunda pergi dulu bentar ya” aku tersenyum dan mengangguk.

Bunda pergi menyusul Ayah dan dokter yang sudah duluan keluar. Tinggallah aku sendiri di kamar ini. Berapa lama aku harus disini? Aku harus sehat biar bisa kembali ke sekolah. Aku sudah rindu dengan sekolahku. Dengan Ami, koran sekolahku, perpustakaan, kantin dan......Ryan.

Pintu kamar terbuka sedikit. Aku pikir Bunda atau Ayah yang datang, tapi ternyata Ami dan Ryan.

“Hai, Mi. Sombong banget sampe baru sekarang jenguk gue” ujarku sambil mencoba tersenyum. Ami menatap iba padaku, begitu juga dengan Ryan.

“Loe kenapa sih nyembunyiin penyakit loe?” tanya Ami.

“Gue nggak sakit apa-apa kok. Bunda bilang gue kecapekan aja. Buktinya sekarang gue udah sehat” jelasku. Ryan menatapku tanpa mengatakan sepatah katapun. “Apa kabar, Yan?” tanyaku padanya.

“Selalu baik” katanya sambil tersenyum. Senyum yang selama ini kurindukan. Entah sejak kapan itu.

“Loe sendirian, Dev?” aku menggeleng.

“Ayah dan Bunda lagi di ruangan dokter. Oya, gue mau keluar, Mi, anterin dong. Sumpek tau nggak!”

Ami mengambil kursi rodaku sementara Ryan membantuku berdiri dan duduk di kursi roda. Ami memilih mundur ketika akan mendorongku. Aku mencium bau parfum Ryan di belakangku.

“Udah berapa lama gue di Rumah Sakit, Mi?” tanyaku.

“Seminggu” aku terkejut mendengar jawaban Ryan.

Kami berjalan-jalan di sekitar Rumah Sakit. Tidak ada pembicaraan yang berarti dari mereka berdua. Hanya Ami yang bercerita mengenai sekolahan. Teman-teman, saat ulangan, guru yang killer, dan lain sebagainya. Banyak sekali hal yang terlewati selama aku tidak masuk sekolah.

“Yang benar, Dok?” Samar kudengar suara Bunda di sebelah apotek. Aku meminta Ryan mendorongku mendekat kesana.

“Iya, kanker otak, walau belum terlalu parah tapi sudah menggerogoti beberapa bagian di otaknya. Makanya Deva sering pusing dan mimisan.......”

Aku seperti tersambar petir mendengarkan pembicaraan itu. Kanker Otak??!! Aku sudah menduganya, gejala yang aku alami memang gejala orang yang terkena kanker, tapi aku masih belum percaya. Aku masih ingin hidup lebih lama. Aku merasakan dekapan seseorang saat aku ambruk kebawah. Aku anfal lagi.

ÿÿÿ

“Dev......elo udah siuman?” samar aku mendengar suara Ami di telingaku.

“Mi......Bunda mana?” tanyaku sambil menggenggam tangannya di sampingku.

“Pulang sebentar. Kasihan Bunda dari kemarin jagain loe, makanya gue suruh istirahat di rumah biar gue ama Ryan jagain loe disini. Bunda juga belum tau elo udah tau tentang penyakit loe......”

“Kasian Bunda, Ayah, kalian semua. Semua gara-gara gue, Mi!! Coba gue nggak sakit, gue bodoh banget ya, masak anak IPA nggak tau penyakit sendiri”

Air mata yang susah payah kutahan akhirnya bobol juga. Aku menyesali keadaanku sekarang. Aku sudah menyusahkan banyak orang. Ya, Allah!!! Aku pengen marah sama Engkau. Tapi nggak mungkin kan, Kau yang udah memberikan semua cobaan ini ama aku dan aku hanya hamba-Mu yang lemah, aku sudah nggak bisa apa-apa, tinggal menunggu malaikat-Mu menjemputku di dunia ini.

“Tapi gue tau kok, Mi......ini nggak akan lama kan?” Ami mengangguk, “Ya, nggak akan lama lagi, ‘coz I’ll die......”

Stop it, Dev!!!” tiba-tiba Ryan udah ada di samping tempat tidurku. Dia menatapku tajam dengan mata elangnya.

It’s not your business!!” balasku. Ya, ini memang bukan urusan dia. Siapa sih dia? Baru beberapa bulan dekat denganku sudah mencampuri urusan lebih jauh.

“Kamu nggak paham juga ya! Untuk apa selama ini aku dekat ama kamu?”

“Aku tau, Yan” jawabku lemah, tapi mampu membuatnya lebih mendekat ke sampingku, “Kamu ingin jadi aktor dalam tulisanku kan?! Itu sia-sia aja, Yan, kamu nggak pernah jadi objek dalam tulisanku karena aku akan meninggal......”

“Dev, gue kecewa ama loe,” ujar Ami memotong pembicaraanku dengan Ryan, “Deva yang gue kenal selalu optimis dengan dirinya, nggak seperti yang sekarang ini. Loe seakan dikalahkan dengan keadaan loe, Dev! Loe nggak bisa menerima kenyataan yang harus loe hadapi.......”

“Loe yang buat gue kuat, Mi, bukan diri gue sendiri. Gimana gue mau optimis kalo gue tau penyakit yang gue derita ini sudah banyak memakan korban.......”

Up to you, gue keluar bentar......” sahutnya seraya melangkahkan kaki keluar kamar.

Sejenak keheningan melandaku dan Ryan. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sejujurnya aku senang berdua dengan Ryan. Namun jika melihat kenyataan diriku yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini..........

Be my girl, Dev” Aku mengerutkan dahi mendengar pernyataan Ryan barusan. Itu kalimat pernyataan, bukan pertanyaan. Dia udah yakin aku akan menerimanya. Siapa yang nggak senang ‘dilamar’ pria seperti Ryan. Lagi-lagi, aku harus melihat KONDISIKU SEKARANG.

Are you crazy?

No. I really like you. I love you, exactly

Bullshit, Yan! Kamu kasian kan dengan keadaan aku! Makanya kamu ngomong ngawur kayak gitu!! Di luar sana banyak cewek sehat yang bisa jadi pacar kamu, kenapa harus aku?”

Listen to me!!” Aku terperangah dan menatap matanya. Harus kuakui, ada ketulusan disana. Aku bisa melihatnya.

“Devania Larasati........aku udah memperhatikanmu sejak menang lomba cerpen itu. Diam-diam aku mencari informasi tentang kamu, I love you at first sight........Entah mengapa aku bisa merasakan perasaan seperti itu. Aku sadar itu bukan perasaan kagum semata......” tuturnya sambil meraih tanganku yang terkulai lemah.

Aku menangis lagi. Betapa indahnya perasaan seperti ini. Ya, Allah.....tidak bisakah kau berikan aku hidup sebentar lagi. Setidaknya untuk mencintai dan membahagiakan pria ini. Setidaknya aku bisa merasakan hari-hariku dengannya, bukan seperti ini. Menghabiskan waktu di rumah sakit dan perlahan-perlahan meninggalkan mereka semua yang menyayangiku. Ryan mengusap air mata di wajahku. Baru kali ini aku melihat wajahnya begitu dekat. Ternyata matanya coklat. Aku tersenyum.

“So?” Ryan menanti jawabanku.

“Aku.............”

“Deva!!” suara Ami mengagetkan kami berdua. “Dev, elo bisa disembuhin......” sejenak aku terperangah, “Gue udah nelpon Papa di Singapura. Dia bilang disana ada rumah sakit yang bagus, Dev. Banyak orang Indonesia yang berobat disana, loe mau kan, Dev? Ntar gue nganterin loe, gue...........”

“Thank’s, Mi” Aku memotong perkataanya. “Gue nggak mau mimpi terlalu tinggi..........”

“Apaan sih loe!!! Gue udah nelpon Ayah dan Bunda. Mereka setuju kok, masalah biaya jangan kuatir deh......”

“Mi, loe udah banyak bantuin gue. Dan ini terlalu berlebihan buat gue......”

“Udah jangan banyak omong, pokoknya loe pergi!” ujarnya langsung keluar kamar.

‘Ni anak kambuh lagi penyakit suka maksa’ dumelku dalam hati. Hampir saja aku kelupaan ada Ryan di kamar. Dia menghampiriku lagi dan berbisik di telingaku.

ÿÿÿ

Sebentar lagi aku akan menjalani kemoterapi. Akhirnya aku menerima tawaran Ami. Kalau bukan paksaan dari kedua orangtuaku aku pasti tidak mau. Dia menemaniku ke Singapura. Sekalian menjenguk kedua orangtuanya. Aku juga masih ingat janji seseorang di rumah sakit di Jakarta. Setidaknya aku punya keinginan untuk sembuh. Aku ingin membahagiakan orang-orang yang sudah bersusah payah menjagaku, menyayangiku dan selalu membantuku.

I swear, I will waiting for you here” begitu kata Ryan. Dia masih saja baik padaku. Padahal aku masih belum memberikan jawaban atas pernyataannya beberapa waktu lalu.

“Loe udah siap, Dev?” Ami membuyar lamunanku. Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruang kemoterapi. “Kata dokter, kanker loe belum terlalu menyebar. Untungnya cepat ketahuan, makanya bisa diobati......”

Sebelum ke ruangan kemoterapi, aku membaca kertas yang selalu kubawa. Puisi dari Ryan.

Akhirnya kudapatkan kau

Malaikat kecilku

Walaupun ragaku belum menyatu dengan ragamu

Tapi jiwaku selalu ada di jiwamu

Sampai raga ini tak lagi ada

Aku berjanji selalu menjaga cintaku untukmu

Aku ingin kau tahu

Malaikat kecilku

Aku akan menunggumu

Karena aku tahu

Kau pergi hanya sementara

Saat kau kembali

Sayapmu yang hampir rapuh

Akan kembali kokoh

Dan kita akan bersama

Melewati warna-warni dunia

Menghabiskan waktu berdua

SELAMANYA...........

For my little angel. Selalu tersenyumlah saat menghadapi cobaan hidup......

Aku tersenyum dan memejamkan mata yang sudah dibasahi dengan air mata. Tiba saatnya aku memasuki ruang pengobatan. I promise, Yan, I’ll be right back for you! batinku.

ÿÿÿ