Jumat, 22 Februari 2008

INTELEKTUAL KADER; SAATNYA BANGUN DARI TIDUR LELAP


Mahasiswa yang merupakan perantara antara kaum elit atas dengan kaum menengah kebawah terkenal dengan tradisi intelektualnya. Seperti wacana-wacana yang sering dilontarkan, mahasiswa dianggap sebagai agent of change dan agent of control. Dari zaman orde lama, orde baru hingga reformasi, mahasiswa memainkan peranan penting di beberapa peristiwa di dalamnya. Contohnya, peristiwa sumpah pemuda, proklamasi, tragedi ’98, dan masih banyak lagi yang lainnya. Akan tetapi, kondisi sekarang ini sudah jauh berbeda. Mahasiswa di beberapa perguruan tinggi lebih senang mengadakan kegiatan yang berbau hiburan ketimbang hal-hal yang berkenaan dengan keilmuan seperti diskusi, seminar atau pelatihan. Dewasa ini mereka lebih senang berdiam diri di rumah daripada berlama-lama di kampus, berjam-jam ngegosip dengan teman-temannya daripada harus memutar otak untuk mendiskusikan hal-hal yang ‘rumit’. Mereka terperangkap pada pola-pola hidup negatif yang ditawarkan pelaku westernisasi seperti senang hura-hura dan bergaya hidup mewah (baca: hedonis), sikap kapitalis (pola hidup konsumtif) yang akhirnya berdampak pada sikap apatis (baca: acuh tak acuh) dan individualis.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terkenal dengan keintelektualan kadernya juga semakin “melempem”. Pola-pola diskusi yang biasanya menjadi kegiatan rutin, makanan sehari-hari kader HMI justru hanya menjadi makanan selingan yang tidak terlalu penting artinya. Hal itu dapat dilihat dari minimnya tradisi intelektual baik ditingkat komisariat maupun cabang. Tradisi intelektual seperti membaca, diskusi dan menulis hanya diminati oleh sebagian kader. Tulisan ini hadir hanya ingin memotivasi spirit ilmiah para kader HMI yang sempat tertidur lelap beberapa tahun terakhir. Padahal kita tahu bahwa intelektual merupakan kata yang cukup erat kaitannya dengan mahasiswa. Tingkat curiosity atau rasa ingin tahu yang besar membuat mereka selalu ingin mencari setiap hal yang mengganggu pikirannya. Baik itu melalui diskusi-diskusi ringan, pengamatan di lapangan maupun melalui bacaan-bacaan yang mereka dapatkan. Intelektual juga berkaitan dengan akal pikiran manusia. Akal yang merupakan pusat ilmu manusia bertumpu pada pengalaman empiris-fenomenal atau yang tampak.

Dewasa ini, banyak sekali problem yang kita temukan seputar aktualisasi tradisi intelektual di dalam diri mahasiswa. Seperti yang telah dipaparkan di atas, tradisi intelektual sudah jarang sekali diaktualisasikan di tingkat mahasiswa. Mereka lebih senang datang ke kampus, duduk dan diam ketimbang harus menghabiskan waktu bergelut dengan buku, diskusi dan dengan pena. Dengan dalih lebih cakap berbicara daripada menulis, sebagian mahasiswa menjadi malas menulis. Sugesti dari kata-kata “Lebih cakap berbicara” justru membuat kita tidak mau mencoba untuk menulis. Padahal potensi itu ada di dalam diri setiap manusia. Begitu juga dengan kata-kata “Lebih cakap menulis ketimbang berbicara”. DR. Yusriadi mengatakan bahwa orang yang pandai berbicara memiliki potensi yang sama untuk menulis, tinggal bagaimana kita mau mengasahnya atau tidak (Disampaikan pada diskusi mingguan HMI Komisariat Dakwah Cabang Pontianak dengan tema “Teknik Penulisan Artikel” pada Jum’at, 11 Januari 2008).

Menulis bukan hanya saat kita duduk di depan komputer atau mencoret-coret buku harian. Menulis adalah proses yang membangkitkan kreativitas dan memperkuat kesadaran kita akan dunia sekitar. Menulis juga membuat kita senantiasa menyadari keyakinan dan emosi yang ada dalam diri kita. Semakin banyak kita menulis sesuatu, semakin besar pula rasa percaya diri dalam mengungkan perasaan dan pandangan yang unik tentang kehidupan. Menjadi penulis, berpikir seperti penulis berarti menggabungkan proses kreatif ke seluruh hidupmu. Penulis Jamaica Kincaid dalam Caryn Mirriam-Goldberg terj. Lusy Widjaja (2005: 30) mengatakan bahwa dia selalu menulis dalam pikirannya, terutama pada saat dia sedang berkebun. Menurutnya lagi, menulis adalah proses mengamati, berpikir, menciptakan, merenungkan – lalu menuliskan semua itu. Menulis adalah pekerjaan paling gampang saya pikir. Apalagi untuk menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan keseharian kita. Sesuatu jika tidak dimulai dengan hal yang mudah pasti akan terasa sulit. Sama halnya dengan menulis, bila kita memotivasi diri kita untuk menulis hal-hal yang biasa, perlahan-lahan kita akan terbiasa menulis sesuatu yang luar biasa.

Ada tiga macam tradisi intelektual yang biasanya ‘dimainkan’ oleh kaum intelektual (baca: mahasiswa). Setelah tadi aktivitas menulis selanjutnya adalah membaca. Seperti wahyu yang pertama kali turun dari Allah SWT pada Nabi Muhammad SAW, iqra’, yang artinya bacalah. Dari situ saja kita sudah tahu bahwa Allah mengharuskan (bukan mewajibkan) makhluknya untuk membaca. Tidak hanya membaca buku atau tulisan-tulisan yang jelas terpampang, tetapi juga kita diharuskan membaca situasi, alam semesta yang ada di sekitar kita agar kita mengetahui rahasia-rahasia ilahi yang terdapat didalmnya.

Membaca bukan sekedar memelototi huruf, bukan sekedar memaknai kata, bukan sekedar menghabiskan halaman demi halaman. Tapi ‘membaca’ adalah memanfaatkan segala yang kita punya: penglihatan, pendengaran dan hati kita, untuk memaknai semua pengetahuan, pengalaman, fenomena dan kejadian apapun yang kita alami, dengan landasan bahwa tidak ada kehadiran di muka bumi ini yang tidak berarti. Termasuk penderitaan dan sakit hati (Ryan B. Wurjantoro, 2006: 15). Proses “membaca” yang sesungguhnya adalah bagaimana pertama-tama kita dapat membaca diri kita sendiri dari segenap sisi yang kita miliki, agar kita betul-betul memahami arti dan makna diri kita. Sebagaimana bunyi semboyan filsuf terkenal Aristoteles, Gnoty Teatons! Yang artinya “kenalilah dirimu”. Sementara Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”. Dari situlah hakikat kita untuk “membaca” sesuatu dimulai.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, untuk membaca sebuah teks saja tidak cukup. Tapi bagaimana kita dapat membaca keseluruhan isi yang ada di dunia ini untuk menyingkap tabir rahasia ilahi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, saya mencoba mengklasifikasikan mahasiswa dilihat dari proses membacanya. Tingkatan pertama adalah mahasiswa yang biasa membaca teks dan alam disekitarnya dan mampu memaknai, menganalisa atau minimal mendiskusikannya. Tingkat kedua adalah mahasiswa yang membaca teks dan alam sekitarnya tetapi belum mampu memaknainya secara mendalam. Dan tingkatan terakhir adalah mahasiswa yang hanya membaca teks – itupun biasanya karena suruhan guru atau dosen – tanpa mampu memaknainya. Tingkatan manakah kita berada?

Tradisi intelektual yang terakhir adalah berdiskusi. Ketiga aktivitas ini sudah seperti lingkaran setan di hidup mahasiswa. Karena tanpa membaca dan diskusi kita tidak akan bisa menulis, tanpa membaca kita tidak akan bisa berdiskusi dan jika hanya membaca tanpa berdiskusi dan menulis sama saja kita hanya terkungkung dengan bacaan kita. Diskusi adalah proses bertukar pikiran antara satu orang dengan orang lain. Diskusi merupakan titik sentral kegiatan intelektual mahasiswa. Di setiap perguruan tinggi, kegiatan semacam diskusi ini selalu dilestarikan. Diskusi dapat lahir dari perenungan, pengamatan, atau bacaan yang kita baca. Dengan kegiatan diskusi semacam ini kita dapat berbagi ilmu, berbagi masalah dan berbagi solusi. Walaupun tak jarang diskusi-diskusi ini melibatkan perbedaan pemikiran individunya yang mengakibatkan terjadi perdebatan panjang yang tiada henti. Oleh karena itu, dalam diskusi biasanya diperlukan seorang moderator atau penengah sebagai pengontrol jalannya diskusi.

Ketiga aktivitas diatas sudah jarang kita lihat di kalangan kader HMI. Padahal tiga tradisi ini merupakan kunci utama dalam membangun intelektualitas kader HMI. Selama ini kita hanya dipusingkan permasalahan internal saja. Kita tak ubahnya anak kecil yang menunggu ‘disuap’ ilmu-ilmu pengetahuan tanpa mau mencoba memberikannya dengan tangan kita sendiri. Selain itu, pola hidup negatif dari pelaku westernisasi yang telah dijelaskan diatas juga telah merasuk dalam diri kader HMI. Semangat juang untuk membangun organisasi ini seperti menguap seiring datangnya problem baru seputar pragmatis, individualis, hedonis, apatis dan tidak mau berkorban demi HMI. Kurangnya rasa memiliki organisasi juga merupakan faktor dari menurunnya intelektualitas kader. Tanpa rasa memiliki organisasi yang kuat, kita hanya cuek saja melihat kondisi miris HMI hari ini.Oleh karena itu, dengan kesadaran yang benar-benar berasal dari hati dan pikiran yang jernih sudah saatnya kita menumbuhkan kembali intelektualitas kader yang dulu melekat pada kader HMI sebagai identitas. Seperti kata Ahmad Wahib, HMI ini hanya sebuah alat bukan tujuan. Apabila kita menggunakannya untuk hal-hal negatif, maka negatif pula hasilnya. Akan tetapi jika kita menggunakan alat ini untuk tujuan positif maka positif pula hasilnya. Di usianya yang ke-61 ini sudah saatnya kader HMI bangun dari tidur lelap yang selama ini hanya diisi dengan mimpi-mimpi manis yang berisikan romantisme masa lalu akibatnya kita terlalu terbuai untuk bangun dari tidur itu dan terhanyut di dalamnya.

0 komentar: