Senin, 14 Desember 2009

A BOOK REVIEW

Title : Riots on the News in West Borneo
Writer : Zaenuddin H. Prasojo
Number of pages : vii + 146
Publisher : STAIN Pontianak Press
Reviewer : Dian Kartika Sari

Zaenuddin has written a book about conflict studies, “Riots on the News in West Borneo”. I think this is a great book because written in English and has information about conflict more. This book consists of five chapters. First chapter is introduction, which tells us about West Borneo in 1990s on the eyes of media and conflict studies. Then, it also divided into three matters: a glance of mass media and group relationships in West Borneo, ethnic relationships in West Borneo: what many have said, and the media and conflict studies.
Therefore, in the introduction, the writer tells us about conflicts that happen in West Borneo such as ethnic conflicts between the Madurese, Malay, Dayak, Chinesse, and etc. these happened in some places like Pontianak, Sanggau Ledo, Sambas, Bengkayang, and many else. In the beginning the conflicts were caused by economic and cultural problems, especially for those directly involved in the community.
Moreover, this book explains about how the media take a look the conflict especially in West Borneo. Because this book addresses the questions of how the riots happened and how people perceived them by analyzing how their issues were presented by the media. Using media as a resource for the analysis is one way in the news about the conflict, this work will contribute to the academic resources of media research especially in West Borneo. The focus of this work will be to reveal how the conflict between the Dayak and the Madura in West Borneo during 1997 was constructed by the media especially by the Akcaya Pontianak Post and Kompas. Because its carried news of the riots comprehensively and continuously.
Besides, in chapter one, a writer talks about Ethnic Relationship in West Borneo based on the media. The mass media are influencing human life in many aspects, wherever they are. By conducting this research, people will get information about the conflict not only from field of studies but also from media studies. To do this research, he use discourse analysis to analyze texts in the media especially in newspapers.
In chapter two, a writer brings a reader to know more about West Borneo especially its people and culture. Moreover, we may know much information about West Borneo in general. Geographical view, for instance, he explains about West Borneo that famous for a province that has “thousands of rivers” because its have thousands of both big and small rivers. Then, Sungai Kapuas is known as the longest river in Indonesia. Besides, he also tells about the equator line which through Pontianak City. It means that West Borneo is a tropical area which is damp and has high temperature. Therefore, a writer also write about the agriculture in West Borneo, economic structure, living societies there, social life and what kind activities do they usually do, and the last about variety of ethnic and religious relations in West Borneo.
Zaenuddin writes about Dayak and Madurese Once in West Borneo in the third chapter. He begins with the history of a broken relationship between Dayak and Madurese. There are classifies ethnic conflicts in West Borneo into three categories. They are close and open conflicts, individual conflict and group conflict, then, vertical and horizontal conflict. In this chapter we will find the reason why many conflicts broke out in West Borneo. Besides, he explains about the number of conflict in West Borneo.
A writer tells us about the mass media in chapter four, he talks about when the mass media talks: Pontianak Post and Kompas on the riots emerging in West Borneo in 1997. He elaborates news and information that published in Pontianak Post and Kompas. At the first time, he has told us why he choose these two newspapers, it’s about comprehensively and continuously the news about conflicts. Besides, he talks about the risk if news about conflict has show up in a society. He also tells about public knowledge and perceptions of the riots as reflected in the news.
Finally, in the last chapter, a writer is concluding the writing and making a reflection in order to it become very important to rebuilding and creating peace in West Borneo. This book becomes very important not only for people involved in the riots to learn what is reported in the mass media, but also for many people in West Borneo to take a lesson from those conflicts.

Rabu, 02 Desember 2009

Jangan Jauhi Mereka


Di salah satu sudut kota, salah satu dari mereka ada yang meringkuk di dalam rumah, terasing dalam ketidakberdayaan mereka. Ada yang hidup diliputi dengan perasaan penuh dendam dan kebencian. Ada yang terbaring lemah menunggu maut menjemput. Bahkan ada yang bisa tertawa lebar menatap masa depan yang masih diliputi misteri kehidupan. Itulah beberapa gambaran manusia yang terkena virus Human Immunodeficiency Virusses (HIV). Virus dengan penyakit yang bernama Acquire Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ini seolah menjadi momok dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Banyak yang menganggap penyakit ini adalah penyakit kutukan dari Tuhan karena perbuatan penderita itu sendiri. HIV AIDS merupakan penyakit yang belum ada obatnya di dunia.
HIV adalah virus yang menginfeksi sel-sel yang ada dalam tubuh manusia dan mereplikasinya (membuat copy-an yang baru dari sel-sel tersebut). Virus tersebut juga dapat merusak sel manusia yang bisa membuat seseorang sakit. Pengertian lain dari HIV yang paling mudah dipahami oleh masyarakat adalah hilangnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mudah terserang penyakit. Virus HIV ini dapat masuk dalam tubuh manusia melalui darah. Seperti yang kita ketahui penularannya bisa melalui jarum suntik yang dipakai bersamaan atau melakukan seks bebas. Seeorang yang terkena virus HIV ini biasanya disebut HIV positif.
Penderita HIV AIDS atau yang biasa disebut Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) biasanya tinggal menunggu waktu kapan penyakit itu akan berakhir. Karakter orang-orang yang terkena HIV AIDS ini sangat berbeda-beda. Ada yang bisa menerima kenyataan dan tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa. Dan ada yang memilih mengasingkan diri di rumah karena malu atau takut dengan pandangan masyarakat terhadap dirinya. Dari segi fisik, penderita HIV AIDS masihlah sama dengan manusia normal lainnya. Akan tetapi, ketika virus itu sudah mulai menggerogoti tubuhnya maka akan terlihatlah tanda-tanda orang yang terkena virus HIV ini.
Di Indonesia sendiri banyak berdiri lembaga-lembaga yang menangani permasalahan penderita HIV AIDS. Kebanyakan berbentuk lembaga sosial dan pekerjanya juga kebanyakan dari penderita itu sendiri. Pembinaan yang paling berat dilakukan bagi penderita adalah pembinaan mental. Karena tidak semua orang bisa menerima orang dengan penyakit AIDS ini. Oleh karena itu, seseorang yang terkena penyakit ini biasanya dibina mentalnya terlebih dahulu sebelum terjun ke masyarakat.
Hukum masyarakat dapat dikatakan merupakan hukum terberat yang harus diterima oleh para ODHA. Betapa tidak, omongan, cemoohan, sikap mengucilkan, biasanya datang dari masyarakat itu sendiri. Padahal tidak semua penderita AIDS ini mereka yang menggunakan obat-obatan terlarang atau mereka yang melakukan seks bebas. Orang yang terjangkit virus ini juga bisa terjadi karena kesalahan penggunaan jarum suntik. Atau yang biasa terjadi adalah hubungan perkawinan tanpa mengetahui latar belakang pasangannya masing-masing. Kasus yang paling menyedihkan adalah seorang anak yang harus terjangkit karena tertular orang tuanya.
Banyak orang-orang yang terjangkit HIV AIDS ini harus merasakan gunjingan, kucilan serta cemoohan dari masyarakat. Padahal tak semua dari mereka yang terjangkit penyakit itu karena hal-hal negatif. Penyakit ini dinilai sebagian masyarakat sebagai penyakit kutukan, penyakit yang memang belum ada obatnya. Akan tetapi, tak semestinya orang yang tidak terjangkit virus ini menjauhi para ODHA tersebut. Karena virus ini tidak tertular melalui makanan, jabatan tangan, dan kontak fisik lainnya. Hanya saja rasa cemas dan khawatir akan tertular membuat sebagian masyarakat ‘takut’ untuk berinteraksi dengan mereka.
Tak banyak orang yang menganggap penderita penyakit ini harus ditolong. Memang secara fisik dan medis belum ada obat untuk mengobati penyakit ini. Tapi setidaknya secara mental dan batin, orang-orang yang terjangkit virus ini harus dibantu. Karena tekanan batin dan mental merupakan cobaan berat yang harus dihadapi para ODHA yang mendapatkan gunjingan dan cemoohan dari masyarakat. Dengan bersikap baik dan menganggap mereka ‘ada’ setidaknya membuat keadaan mereka lebih baik. Dan yang terpenting adalah mereka dapat berpikir bahwa mereka masih bisa berguna di lingkungannya dan masyarakat luar karena mereka masih bisa beraktivitas laiknya manusia normal. Oleh sebab itu, dukungan dan bantuan secara moral dari orang-orang yang mau membantu mereka tentunya sangat mereka butuhkan, sebelum akhirnya mereka kembali pada penguasa alam. Wallahualam bis sawab!

Mental Hedonis Berujung Korupsi


Indonesia tengah dilanda permasalahan yang sangat pelik. Terutama menyangkut kasus korupsi yang tak pernah habis-habisnya terjadi di Indonesia. Di tengah kondisi alam yang tak bersahabat dengan manusia (dapat dilihat dari banyaknya bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia), Negara tercinta ini juga tengah dilanda permasalahan yang tidak pernah ketemu ujung pangkalnya, yaitu korupsi. Seperti yang marak diberitakan di berbagai media massa, kasus yang sedang hangat belakangan ini adalah kasus perselisihan antar oknum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pihak kepolisian dan pemerintah.
Sungguh miris memang, karena oknum-oknum yang berselisih adalah berasal dari lembaga yang memiliki peran penting bagi Negara Indonesia ini. Dengan munculnya kasus ini, dapat dipastikan kepercayaan masyarakat kepada beberapa lembaga ini jadi berkurang. Bahkan mungkin tak ada lagi yang dapat dipercaya. Karena, setiap kasus yang berkembang memiliki bukti-bukti baru yang saling menguatkan dan menjatuhkan. Belum lagi kasus yang berbeda tapi dikaitkan-kaitkan dengan kasus lain, misalnya kasus pembunuhan Nasrudin yang dituduhkan kepada Antasari Azhar dikaitkan dengan kasus penyuapan yang menimpa Bibit dan Chandra Hamzah. Hingga ujung-ujungnya adalah pada kasus korupsi di Bank Century yang merugikan Negara.
Pemerintah membentuk tim pencari fakta yang diberi nama tim 8. Tim ini diluar dari penyidik kepolisian yang menurut Ketua Divisi Humas Polri, Nanan Sukarna – pada konferensi pers – tidak memiliki kekuatan hukum untuk memenjarakan seseorang. Akhirnya, tim 8 bekerja, tim penyidik dari pihak kepolisian juga bekerja. Hingga masyarakat kebingungan bukti dan pendapat mana yang mau dipilih, tim 8 atau penyidik kepolisian? Berita-berita serta bukti-bukti yang ditampilkan di depan publik justru membuat masyarakat akan kebingungan karena semakin banyak informasi yang dikonsumsi tapi tidak dibarengi dengan verifikasi yang jelas. Kasus-kasus yang muncul juga tumpang tindih sehingga tidak jelas siapa menuntut apa dan siapa menuntut siapa.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (dikutip dari website Wikipedia Indonesia). Korupsi merupakan permasalahan yang tak kunjung selesai – minimal berkurang – di Indonesia. Hal ini menurut penulis dikarenakan budaya konsumerisme yang besar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pejabat. Mental-mental mereka telah dijejali dengan kebiasaan menggunakan barang-barang mewah. Fasilitas yang mereka terima tak sebanding dengan apa yang bisa mereka lakukan. Misalnya, kendaraan dinas yang mereka gunakan berupa mobil Mercy yang eksklusif. Akan tetapi, mereka lupa bahwa masih banyak orang-orang tak mampu yang menggelandang di jalanan. Jangan salahkan rakyat kecil ketika mereka harus mencuri demi sesuap nasi ketika anggaran untuk pembinaan mereka lebih kecil ketimbang dengan pembelanjaan fasilitas mewah para pejabat di atas-atas sana.
Padahal, dana-dana untuk kendaraan dinas, rumah dinas, fasilitas umum, kesehatan, dan lain sebagainya yang diterima para pejabat bisa lebih ditekan dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau pendidikan di Indonesia. Toh, gaji dan tunjangan yang mereka terima sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi, balik lagi pada permasalahan awal adalah mental-mental hedonis yang ditanamkan pada orang-orang gedongan itu. Meski tak jarang beberapa pejabat yang melakukan kegiatan sosial dengan separuh gaji yang ia terima. Dari gaya hidup yang mewah tersebut, ditambah dengan banyaknya ‘proyek’ yang mampir ke tangan pejabat membuat uang mengalir dengan mudah. Dari situlah kemungkinan besar ‘korupsi’ kecil-kecilan dilakukan.
Melihat kondisi diatas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kasus korupsi yang terjadi. Misalnya, dalam pelaporan keuangan lebih bersifat transparan. Selain itu, penekanan dana untuk tunjangan, fasilitas umum, dan lain sebagainya bisa dilakukan untuk dialokasikan ke bagian lain yang lebih memerlukan, misal pendidikan dan infrastruktur. Hal ini tentunya dapat mencegah terjadinya kesenjangan sosial antara yang ‘atas’ dengan yang ‘bawah’. Semoga!