Kamis, 28 Agustus 2008

Hari-hari Menjelang Keberangkatan (Part Two)

Untuk sementara waktu aku hampir melupakan tes yang dilakukan beberapa waktu lalu. Ya, untuk merelaksasikan otak dan fisik, aku bermain-main sebentar di markas besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan beberapa temanku. Sekalian mempersiapkan banyak hal untuk penyambutan mahasiswa baru di kampusku. 13 Agustus 2008, ponselku berdering saat aku mengecat baliho ucapan selamat datang kepada mahasiswa baru.

‘Dek, ad tlpn dri jkrt gak?ynt tdi ad dpt tpi tk ynt angkt krn lg d’dpr’ sender: Hardianti.

‘Gak ad t kak....ngp...k3 dpt k?wah enak nih xo k3 lu2s....’ Delivered To: Hardianti.

Sampai disitu tidak ada lagi balasan dari kak Yanti. Aku menghentikan aktivitas dan beranjak ke depan komputer untuk bermain games. Jujur saja aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Entah apa penyebabnya, aku masih khawatir apakah aku akan mendapatkan beasiswa itu atau tidak.

Keesokan harinya............

Ponselku kembali berdering saat aku akan berangkat ke kampus. Nama Hardianti berkedip-kedip di layar ponselku.

“Ass...kak....”

“Dek......Yanti lulus ke Amerika.....” Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

“Ya Allah....selamat ye kak...kayaknye cuma kakak nih yang lulus....Dian belum ade dapat kak”

“Cobelah cek email...soalnye tuh kate kakak yang nelpon Yanti, pengumumannye ade di email”

“Oh iye lah, nanti Dian cek email abis itu baru ke kampus”

“Oke deh! Ditunggu ye...Yanti di Unit Bahasa” Kak Yanti menutup telepon.

Dengan terburu-buru aku menyuruh abangku tercinta, Sugeng, untuk mengarahkan motor ke warnet yang ada di dekat rumah. Sesampai di sana, kamipun masuk ke salah satu bilik warnet. Aku membuka program Mozilla Firefox dan langsung masuk ke window Yahoo! untuk membuka email. Dengan hati yang masih deg-degan aku mengetikkan alamat email beserta password-nya. Sambil menunggu aku juga membuka window Friendster untuk melihat-lihat apakah ada teman-teman baru yang mengisi profile-ku.

Setelah email terbuka aku langsung membuka inbox emailku. Ada beberapa email yang tidak kukenal. Langsung aku klik salah satu pesan itu, dan.............ya Allah!!! Aku Lulus ke Amerika Serikat!!!!! Aku membaca sekali lagi, takut aku kurang teliti membaca. Ternyata memang benar ada, cohort 5 University of Arizona, urutan ke-13 (yang bagi sebagian orang itu angka sial tapi bagiku itu angka keberuntungan) atas nama “Dian Kartika Sari/ STAIN Pontianak”. Thanks to God!! Aku berharap ini bukan mimpi, kucubit-cubit tanganku untuk memastikan ini bukan mimpi. Terasa sakit! Artinya aku tidak mimpi. Langsung ku download semua email yang dikirimkan padaku. Tak berapa lama ponselku berdering, tertera nomor kode area Jakarta.

“Halo....”

“Halo...benar dengan Dian Kartika Sari...”

“Iya benar”

“Ini Mbak Meidi...Dian bener dari STAIN Pontianak?”

“Bener mbak...”

“Tanggal lahirnya berapa”

“26 Agustus 1988, mbak?” (dalam hati aku bertanya, ‘Siapa sih orang ini pake nanya kayak gitu?’)

“Selamat ya.....”

“Iya” Jawabku sambil senyum-senyum, (‘Oh, pasti dari Jakarta nih!’ pikirku).

“Selamat apa coba?” tanyanya menggodaku.

“Dapet beasiswa ke Amerika kan, Mbak?”

“Kok tahu sih?”

“Iya nih, Mbak...udah diimelin sama Mbak Ama.....”

“Waduh, berarti Mbak telat ya....tuh Mbak Ama di belakang Mbak senyum-senyum....” Aku ikut tersenyum.

“Jadi nggak surprise dong! Ya udah nggak papa, selamat ya, Dian, ini kado spesial buat ulang tahun Dian”

“Makasih, Mbak.....”

“Iya.....Selamat Pagi” Aku memutuskan sambungan telepon.

Aku langsung menghubungi kakYanti dan Zuraida. Disuruh ke kampus sama dosen bahasa inggrisku di Unit Bahasa. Masih dengan perasaaan bener-nggak-sih-informasi-ini?! Aku beranjak dari warnet ke kampus. Di jalan aku menerima SMS dari Zuraida, dia bilang belum ada email yang menyatakan dia lulus. Aku rasanya nggak percaya karena diantara kami berempat, dialah yang aku jagokan mendapat beasiswa ini. Kubalas SMS-nya, kukatakan mungkin belum dikirim emailnya karena beasiswa ini ada yang bulan Januari, dan ada yang bulan Maret. Kemungkinan dia dapat yang bulan Maret. Ya, semoga aja! Aku pikir kami berjuang bersama-sama jadi setidaknya kami juga mendapatkan yang sama.

Part Two fin.....to be continued to part three.

Selasa, 19 Agustus 2008

Hari-hari Menjelang Keberangkatan (Part One)

I think just in my imagination when I read in my electronic mail that I get this scholarship. Aku tidak pernah berharap akan mendapatkannya saat dosenku meminta aku dan beberapa temanku untuk mengisi aplikasi peserta beasiswa. Kak Yanti dan Aku sama-sama duduk sebagai mahasiswi semester 6 Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah. Zuraida, mahasiswi semester 6 Program Studi Ekonomi Islam Jurusan Syari’ah dan Kusuma Oktavia – dipanggil Okta – mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Jurusan Tarbiyah semester 6. The Indonesia English Language Study Program (IELSP) nama programnya. Hardianti – yang biasa kupanggil Kak Yanti, Zuraida, Okta dan Aku sendiri berjuang cukup keras selama dua hari untuk mengisi seluruh formulir itu.. Parahnya, aplikasi itu harus diisi dengan bahasa inggris. Kami berjuang bersama-sama untuk mengisi aplikasi itu walaupun harus bergadang untuk mengisi semua itu.

Selanjutnya, beberapa hari kemudian, kami dihubungi oleh Mrs. Regina, beliau sepertinya mendapat mandat dari pihak The Indonesian International Education Foundation (IIEF) yang berlokasi di Jakarta, untuk tes wawancara. Kami berempat saling berhubungan baik via telepon maupun via sms untuk mematikan bahwa kami mendapatkan telepon itu juga. Tak disangka bahwa kami berempat mendapatkannya. Wawancara akan dilakukan di gedung Magister Hukum Universitas Tanjungpura. Kami menyadari bahwa kami belum melakukan persiapan secara maksimal. Kami hanya membaca sedikit literatur dan beberapa poin yang terdapat di aplikasi.

Sesampai disana, kami tidak bisa menahan rasa grogi. Merasa takut tidak bisa melakukan tes ini dengan baik.

“Ape nak kite jawab ni, Dek?” tanya Kak Yanti padaku.

“Eh, pandai-pandai jak lah kak...e...ape yang kite bise....”

“Ih...Okta grogi nih...cobe rase tangan Okta sejuk...”

“Samelah...kame’ tak ada persiapan ni....” kata Zuraida.

Disana kami bertemu dengan anak-anak dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris. Duh, makin tambah pesimis kami untuk melakukan tes ini.

“Ya, Allah, Kak....liatlah saingan kite...anak FKIP Inggris semue...” kataku pada Kak Yanti sambil berbisik.

“Nampaknye sih peluangnye kecik nih....” sambung Okta.

“Tak ape-ape...yang penting kite nyoba jak dulu....mane gak tau kan....”sahut Zurai.

Perasaan nervous kami makin menjadi saat melihat yang mewawancarai kami datang. Dia dibantu oleh Bu Dewi (kalo nggak salah sih namanya Dewi) dari UPT Bahasa Untan. Bu Dewi menempelkan jadwal wawancara (aku melihat ada 13 orang yang akan diwawancara. Artinya ada selusin mahasiswa yang akan menjadi sainganku) dan alhamdulillah kami semua mendapatkan giliran pertama. Satu persatu anak-anak dari Untan pulang karena jadwal mereka setelah kami. Okta mendapat giliran pertam.

“Ya Allah...ape yang nak Okta jawab nih...”

“Eh...bantai-bantai jak lah, Ta, kalau perlu pake jak bahasa arab Okta tuh...” sahut Kak Yanti.

Setelah Okta, kemudian Kak Yanti, Aku dan barulah Zuraida. Wawancara itu selesai hingga pukul 13.00 WIB.

“Gimane tadi?” tanyaku pada mereka bertiga.

“Aduh, Yan....Okta jawabnye setengah-setengah...pake bahasa inggris setengah pake bahasa indonesia setengah...”

“Samelah....” aku dan Zuraida menimpali.

“Yang parah tuh Yanti....campor-campor lah, Inggris-Indonesia-Melayu....hehehe” Kami semua tertawa.

“Tinggal tunggu hasilnye jak lah nih.....” sahut Zurai.

Setelah semua kena giliran wawancara, kami semua meluncur ke kampus setelah sebelumnya diberitahu oleh Bu Dewi akan ada tes TOEFL untuk kami yang masih prediksi (khususnya buatku Okta dan Kak Yanti). Kami singgah di warung Pak Karim, kelaparan setelah menguras otak seharian dengan wawancara (apa hubungannya coba antara otak sama perut...hehehe).

Beberapa Hari Kemudian......

Sekitar seminggu setelah tes wawancara, Aku, Kak Yanti dan Okta dihubungi oleh pihak IIEF dari Jakarta untuk melaksanakan tes TOEFL di UPT Bahasa Untan. Hari itu hari Selasa (tanggal tepatnya nggak tahu abisnya nggak dicatat J) Aku, Kak Yanti dan Okta janjian untuk pergi kesana bersama-sama. Agak nervous ketika melihat UPT Bahasa Untan yang dikelilngi “pernak-pernik berbahasa inggris”. Berbeda sekali dengan yang di kampusku (but I still Love my college, STAIN!!!). Awalnya kami santai-santai saja, tetapi setelah melihat Bu Dewi dengan anggunnya masuk ke ruangan, kami mulai grogi. Saat masuk ruangan, hawa sejuk dari air conditioner menerpa kami, hingga kami merasa semakin nervous. Akhirnya saat tes pun tiba.......

“Dek...ape yang nak Yanti jawab nih.....”

“Jawab-jawab yak kak e....kalo nasib mane tau kan....”

Akhirnya Bu Dewi menjelaskan what must we do and we don’t. Setelah melewati perjuangan panjang selama dua jam...akhirnya kami keluar dari ruangan yang diberi nama Shakespeare itu. Oya tambahan satu informasi, di dalam UPT Bahasa itu setiap ruangan diberi nama. Untuk tes TOEFL, kami berada di ruangan Shakespeare.

“Ih....ngape lebih sulit dari yang prediksi di kampus kite ye?” tanya Okta saat kami keluar dari UPT.

“Entahlah...ape katenye tuh kak? Dian dikit-dikit jak bisenye” tanyaku pada Kak Yanti merujuk pada tes Listening pada saat TOEFL itu.

“Adek jak tak tahu apelagi Yanti...hehehe”

Kami pun pulang tanpa mimpi yang berlebihan. Mimpi akan mendapatkan beasiswa itu.

Part One Fin...

Sabtu, 16 Agustus 2008

BANGSA YANG TIDAK DICINTAI RAKYATNYA

Momen Tujuh Belas Agustus merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu seluruh rakyat Indonesia. Pada hari itu negara Indonesia tercinta ini berumur 63 tahun. Seluruh rakyat Indonesia bersuka cita menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Berbagai kegiatan digelar, mulai dari perlombaan, pembacaan doa selamat sekaligus makan-makan, seminar, dialog publik, dan lain sebagainya. Apakah seperti itu wujud nasionalisme yang ditunjukkan rakyat Indonesia menjelang kemerdekaan Indonesia? Ataukah ‘ritual-ritual’ seperti itu hanyalah formalitas, sebuah simbol, yang wajib dilaksanakan untuk menyambut kemerdekaan Indonesia?

Indonesia, sebuah negara yang besar di Asia Tenggara, terkenal dengan luas wilayah, penduduk, dan potensi-potensi lainnya yang terdapat di alamnya yang asri, saat ini tengah mengalami keterpurukan. Penulis katakan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang tidak dicintai rakyatnya. Mengapa? Beberapa tahun belakangan ini, bisa dihitung berapa kali bencana alam melanda Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Berapa banyak jumlah aksi kriminalitas yang disiarkan di media-media elektronik maupun cetak di negeri ini. Berapa banyak hasil bumi Indonesia dikeruk oleh anak-anak bangsa yang tidak memikirkan akibatnya. Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang harus kita jawab sebagai rakyat yang mengaku cinta bangsa Indonesia.

Di usia yang sudah cukup tua (baca: 63 tahun), kita sebagai rakyat Indonesia diingatkan untuk selalu menjaga bangsa ini. Baik melalui prestasi, nama baik, dan sebagainya. Generasi muda yang harusnya bisa memaknai dan merenungkan arti ‘kemerdekaan’ pada 17-an kali ini justru menghilangkan makna ‘kemerdekaan’ itu sebenarnya. Lihat saja di sepanjang jalan-jalan di kota Pontianak, pemuda-pemuda memperingati hari besar nasional ini dengan memutar lagu house music di tepi-tepi jalan sambil berdisko dengan teman-teman yang lain. Selain itu, jalanan menjadi ramai karena menjadi ajang kebut-kebutan para anak-anak muda. Tak lupa pula aksi mereka ditemani minuman beralkohol yang biasanya berujung pada perkelahian. Apa seperti itu cara kita merepresentasikan peringatan kemerdekaan?

Apabila direnungkan kembali cara kita merepresentasikan rasa cinta kepada Indonesia. Apakah sudah benar cara yang kita lakukan. Mari kita lihat apa yang terjadi di jalan-jalan di seputar kota Pontianak. Pengguna kendaraan bermotor biasa dengan seenaknya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Aturan-aturan yang diberlakukan di jalan seperti tidak ada artinya. Kebut-kebutan di jalan yang padat kendaraan, seenaknya melanggar lampu lalu lintas hingga kecelakaan tidak dapat terelakkan. Hingga menggunakan kendaraan-kendaraan yang tidak ramah lingkungan sehingga menimbulkan polusi udara dan polusi suara.

Selanjutnya, penggunaan hasil hutan dan hasil bumi yang tidak efisien. Coba kita lihat berapa banyak hutan yang ditebangi demi mempertebal kantong sendiri. Selain itu, ada juga yang membakar hutan untuk kepentingan sendiri sehingga kabut asap tidak dapat dihindari. Hasil bumi seperti emas dan intan juga dikeruk demi memuaskan kehidupan pribadi pengusaha. Akhirnya pencemaran lingkungan tidak bisa ditanggulangi lagi. Sungai-sungai telah tercemar dengan limbah sehingga rakyat tidak lagi dengan leluasa menggunakan sungai tersebut. Belum lagi sampah yang memenuhi sungai dan beberapa tempat di kota-kota besar membuat Indonesia semakin terlihat kumuh dan terpuruk. Belum lagi bencana alam yang terjadi dimana-mana, banjir, gempa bumi, kabut asap, dan lainnya. Penyakit-penyakit juga tersebar pada rakyat Indonesia, terutama pada orang-orang miskin. Semua hal tersebut membuat mereka semakin menderita. Karena rumah sakit-rumah sakit yang ada di negeri ini terlalu mahal untuk dijangkau oleh mereka walaupun kartu Asuransi Kesehatan (Askes) telah mereka miliki.

Dan apa penyebab semua itu? Karena Indonesia tidak dicintai rakyatnya. Rakyat yang mengaku nasionalis dengan merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan bersenang-senang padahal yang lain tengah menangis. Rakyat yang mengaku cinta negara ini tapi lebih memilih menggunakan produk orang lain. Rakyat yang mengaku besar karena pepatah “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawannya” padahal masih ada para pahlawan kita yang sengsara di suatu tempat yang tidak tersentuh pemerintah. Dan yang paling mendasar adalah bangsa Indonesia telah kehilangan kepercayaan di mata negara-negara lain karena kasus korupsi dimana-mana. Rakyat Indonesia telah kehilangan nilai-nilai ketimurannya yaitu kejujuran. Apakah kita termasuk orang-orang yang tidak mencintai bangsa kita sendiri? Ataukah kita hanya mengaku-ngaku cinta Indonesia padahal tidak? Wallahualam bis sawab.

Masih banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menjaga nama baik Indonesia di mata dunia. Salah satunya melalui prestasi yang kita miliki. Baik itu dalam bidang kelimuan, seni, musik, dan lain sebagainya. Belum terlambat untuk menunjukkan pada dunia bahwa negara Indonesia bisa menjadi negara yang maju. Lihat saja bagaimana perjuangan pahlawan-pahlawan kita di ajang olimpiade. Walaupun belum bisa mempersembahkan yang terbaik tapi mereka tetap berjuang untuk menjadi yang terbaik. Lihatlah bagaimana pasangan ganda putra Indonesia, Markis Kido-Hendra Setiawan, meraih emas pertama di cabang Bulutangkis, bisa megibarkan bendera Indonesia diiringi dengan alunan Indonesia Raya di Beijing, Cina pada malam 17-an. Atau bagaimana perjuangan anak-anak bangsa pada olimpiade sains yang juga berhasil membuat nama Indonesia dikenal. Dan masih banyak lagi prestasi-prestasi yang bisa diukir untuk membangun bangsa ini menjadi lebih maju dan bisa menghadapi dunia dengan kepala tegak. Kuncinya hanyalah kemauan untuk melakukan perubahan. Semoga!

It's Surprise!!!!

Thanks God!!! hanya itu yang bisa aku ucapkan saat melihat di inbox emailku kalo aku Lulus ke Amrik!!! Ya ampyun......gak nyangka banget Loh!!! serasa mimpi!!! Ini Amerika Serikat Loh!!! Negeri Paman SAm dan aku akan kesana.....
serasa kaki nggak berpijak ke tanah. kalo ini mimpi aku nggak mau bangun dari mimpi ini...terlalu indah...ini hadiah ulang tahun termanis dalam hidupku.....oh my.....gosh!