Minggu, 24 Februari 2008

KONGRES KEBUDAYAAN, MILIK KITA BERSAMA

Kongres kebudayaan yang digagas Chairil Effendy (02/11) patut diperhitungkan. Selama ini topik yang dibicarakan selalu saja seputar politik, ekonomi, dan sosial. Akan tetapi, permasalahan kebudayaan jarang sekali timbul ke permukaan. Sekalipun muncul, hanya perbedaan kebudayaan yang menimbulkan konflik yang diangkat. Masyarakat pun sepertinya sudah bosan dengan konflik yang selalu meresahkan. Sudah saatnya kita berusaha untuk mengurangi konflik tersebut. Salah satu caranya dengan menggagas kongres kebudayaan itu. Akan tetapi kendalanya, kongres kebudayaan ini tidak akan berjalan tanpa ada yang memprakarsai. Terserah siapa nanti yang akan memunculkan kongres ini ke permukaan, yang pasti dengan adanya kongres ini diharapkan mampu meminimalkan konflik yang terjadi di Kalbar karena kongres ini milik kita bersama.

Dengan beragamnya budaya di Kalimantan Barat ini sangat memungkinkan sekali munculnya konflik. Padahal, kalau mau dilihat dari sisi positifnya, banyak sekali hal yang bisa diangkat dari heterogenitas budaya. Misalnya melakukan kegiatan bersama yang berupa seminar, pelatihan, kegiatan amal, dan masih banyak lagi hal positif lainnya yang bisa dilakukan. Keseluruhan aktivitas itu dapat dirancang dalam satu forum yaitu Kongres Kebudayaan.

Dilihat dari segi organisasi kepemudaan ataupun masyarakat, sudah banyak kita temukan organisasi-organisasi yang berbau primordial (baca: kedaerahan) di Kalimantan Barat – Pontianak khususnya. Seperti Ikatan Pemuda Dan Mahasiswa Kapuas Hulu (IPMKH), Himpunan Mahasiswa Madura (HIMMA), Perkumpulan Masyarakat Bugis, Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), dan entah apa lagi perkumpulan yang berbunyi senada lainnya. Daripada seluruh organisasi itu berjalan sendiri-sendiri dan hanya dengan ‘kaum’ masing-masing, lebih baik mereka berhimpun dalam satu forum musyawarah seperti kongres kebudayaan ini.

Kongres kebudayaan yang mungkin nanti akan ada yang memprakarsai, tentunya dapat menjadi tindakan preventif terjadinya konflik. Perbedaan budaya yang sering menjadi pemicu konflik mungkin dapat diminimalisir dengan adanya kongres kebudayaan. Sudah cukup penderitaan yang dirasakan oleh korban-korban konflik yang tersebar di beberapa daerah di Kalimantan Barat ini. Oleh karena itu, sebagai manusia yang mengaku cinta damai sudah sepatutnyalah kita bersatu dalam kebudayaan yang berbeda. Menyepakati satu mufakat yang nantinya bermanfaat bagi kemaslahatan umat karena kongres ini adalah milik kita bersama.

Selain sebagai forum musyawarah, kongres ini nantinya dapat menjadi tempat berkumpul dan mengenal budaya-budaya baru yang mungkin belum kita ketahui. Disamping itu, pertemuan ini juga nantinya dapat menjadi ajang silaturahmi bagi kita. Menambah saudara, teman dan kerabat dan dapat mempererat ukhuwah diantara kita. Apabila kongres ini sudah terlaksana, mungkin saja akan ada kesepakatan baru mengenai cara mengurangi konflik di Kalbar. Karena isu ras untuk memprovokatif seseorang masing sering digunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Baik itu untuk menjatuhkan lawan politik atau lawan ekonomi-nya. Kalau hal itu sudah terjadi, konflik ras akan muncul lagi di Kalbar ini. Bukankah kita ingin masyarakat Kalbar ini hidup di bumi borneo dengan damai?

Mana ‘Taring’mu Mahasiswa?


Gema hari Pahlawan tak semeriah gema konser-konser yang diadakan di beberapa universitas. Tak sepopuler jurkam-jurkam cagub dan cawagub. Tak semewah perlombaan dan atraksi yang diselenggarakan beberapa organisasi mahasiswa di perguruan tinggi dan disponsori oleh perusahaan-perusahaan besar. Hari Pahlawan hanya diperingati oleh segelintir ‘umat’ yang masih peka dengan kondisi negeri yang sudah tua ini. Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November terlihat biasa-biasa saja. Hari dimana pejuang-pejuang negeri ini melawan penjajah dan berhasil mengibarkan bendera merah putih di ‘sarang’ penjajah dianggap tak berarti apa-apa. Terutama bagi mahasiswa yang seharusnya menjadi penerus perjuangan bangsa.

Mahasiswa yang katanya agent of change dan agent of control di perguruan tinggi sepertinya sudah kehilangan ‘taring’nya. Jarang lagi kita lihat aksi-aksi mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sekalipun kebijakan itu meresahkan masyarakat. Di beberapa kampus jarang sekali aktivitas-aktivitas yang berbau intelektual maupun pergerakan. Mahasiswa benar-benar telah ‘mati rasa’ dengan kondisi yang terjadi di masyarakat.

Ketika ditanya seputar hari pahlawan, beberapa dari mereka malah mengatakan bahwa sekarang bukan lagi zaman penjajahan. Sungguh tragis kondisi mahasiswa sekarang! Wajar saja degenerasi moral meluas kemana-mana jika kaum mudanya beranggapan seperti ini. Padahal kalau kita mau lebih teliti melihat kondisi Indonesia Raya ini, kita benar-benar masih dalam penjajahan. Terutama mereka yang mendoktrin kita dengan paham-paham seperti kapitalisme, materialisme dan hedonisme. Mahasiswa sekarang telah dijebak dengan produk-produk yang memanjakan kita dengan kemewahan dan kenyamanan. Sehingga mereka tak perlu susah-susah lagi memikirkan kondisi negerinya. Jadilah mereka orang-orang individualis yang egois!

Masa-masa penjajahan atau pasca itu (orde lama) mahasiswa masih berjuang dengan tenaga, waktu dan pikirannya. Contohnya Soe Hok Gie yang melawan kebijakan politik pemerintah dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Kata-katanya yang pedas, hingga ia pernah ditegur oleh gurunya sendiri karena ‘ketaksopanan’nya itu. Dan masih banyak lagi yang lainnya yang patut kita jadikan contoh. Kondisi zaman sekarang sangatlah berbeda dengan zaman dulu. Ketika pejuang kita masih mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Sekarang kita menggunakan ketajaman intelektual kita untuk melawan semua itu. Aktivitas seperti diskusi, membaca dan menulis juga jarang kita lihat. Padahal dengan kegiatan seperti itulah mahasiswa ‘berperang’ melawan kolonialisme.

Apakah masih ada mereka yang mengenang perjuangan pahlawan-pahlawan kita? Ataukah semua itu hanya sekedar cerita dan pelajaran sejarah saat kita di sekolah dulu? Hanya diri kita pribadilah yang tahu semua jawaban itu. Di STAIN khususnya, tak henti-henti kita lihat organisasi-organisasi kepemudaan mencari kader. Akan tetapi setelah itu, kader-kader itu dilepas tanpa diberi suntikan ilmu dan motivasi. Dan akhirnya, mereka sama saja dengan mahasiswa yang kerjaannya hanya ke kampus-kelas-perpustakaan-kantin-rumah. Begitu terus rutinitas yang mereka jalani. Apa mereka tidak bosan?!

Hari Pahlawan ini harusnya dapat kita jadikan ajang motivasi bagi diri kita. Bagaimana kita terus memacu diri menjadi yang terbaik. Menjadi ‘pahlawan’ Indonesia di mata dunia. Setidaknya menjadi ‘pahlawan’ bagi kedua orang tua kita. Karena menjadi mahasiswa yang bisa lulus dengan nilai baik dan diwisuda semua orang juga bisa. Tapi menjadi mahasiswa yang peduli dengan sekitarnya (baca: aktivis) ditambah dengan prestasi akademiknya yang baik, jarang sekali kita lihat di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan para pejuang kita terdahulu jangan kita sia-siakan. Masakan setelah era reformasi kita hanya ongkang-ongkang kaki menikmati kemunduran orde baru. Padahal ketidakadilan bagi masyarakat jelas sekali kita lihat di zaman globalisasi ini.

Komunikasi Pilkada


Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan adanya orang lain, telah memberikan harapan dan keinginan. Harapan dan keinginan tersebut hanya akan terwujud apabila komunikasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Komunikasi yang baik hanya bisa terjadi apabila antara komunikator dengan komunikan terjadi kesamaan dalam persepsi tentang sesuatu yang sedang diperbincangkan. Seperti definisi komunikasi secara bahasa yang artinya sama makna. Komunikasi dapat diartikan sebagai proses pertukaran pikiran atau gagasan hingga pada upaya merubah tingkah laku (Everett M. Rogers dan Carl I. Hovland: 1948), atau pola hubungan yang terjadi antar manusia, baik disadari atau tidak, verbal atau nonverbal, langsung atau melalui media, dalam eksistensi manusia sebagai makhluk sosial (Ibrahim MS dalam Jurnal Khatulistiwa: 2005).

Dalam kehidupan manusia yang beragam etnis, budaya, agama, partai politik, kepentingan, dan sebagainya menandakan komunikasi harus dibangun. Komunikasi merupakan proses yang menghubungkan bagian-bagian dari kehidupan manusia yang awalnya saling terpisah menjadi satu kesatuan. Begitu juga dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang penuh dengan pro dan kontra merupakan suatu kondisi bertemunya dan terhubungnya bagian-bagian kehidupan tersebut.

Pilkada tidak bisa dipisahkan dengan komunikasi. Keduanya memiliki unsur yang hampir sama, karena keduanya mensyaratkan pengetahuan agar komunikasi yang dibangun dapat berjalan secara baik dan efektif. Selain itu, pemahaman yang baik tentang komunikasi akan sangat membantu dalam perbaikan format hubungan dan interaksi komunikasi dalam pilkada.

Pilkada Kalimantan Barat merupakan pencerminan bahwasanya komunikasi juga ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi terbesar di Kalimantan Barat tersebut. Pilkada membutuhkan komunikasi baik secara personal maupun kelompok. Karena hanya dengan komunikasi yang baik akan tercipta kondisi yang aman dan damai.

Dengan banyaknya sarana yang semakin mempermudah komunikasi antar person ataupun kelompok, maka memungkinkan tidak terjadinya discommunication antar kelompok tersebut. Media cetak seperti koran atau majalah, media elektronik seperti radio dan televisi, dan media nir-massa seperti spanduk, pamflet dan stiker-stiker telah banyak membantu dalam hal mengomunikasikan program-program perbaikan pasangan Calon Gubernur (cagub) Kalimantan Barat kepada masyarakat.

Pada kenyataannya, komunikasi sangat begitu kompleks dan sangat penting bagi eksistensi manusia. Menurut hemat penulis, pilkada hari ini yang sebentar lagi kita laksanakan juga merupakan komunikasi, lebih tepatnya komunikasi politik. Disitu ada Cagub dan Cawagub sebagai komunikator, masyarakat sebagai komunikan, program atau visi dan misinya sebagai pesan, media sebagai channel dan tanggapan dari masyarakat itu sendiri sebagai efek dari proses komunikasi tersebut.

Komunikasi yang dibangun oleh Cagub dan Cawagub kepada masyarakat merupakan sarana sosialisasi. Sosialisasi kepada masyarakat adalah bentuk untuk semakin memperkokoh eksistensi sebagai makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain. Hal ini ditandai dengan membangun kepercayaan terhadap masyarakat misalnya melalui program-program pengentasan kemiskinan, pengadaan lapangan kerja, pendidikan gratis dan sebagainya. Dengan tersampaikannya message tersebut kepada komunikan (masyarakat) melalui kemampuan berkomunikasi yang baik diharapkan terjadinya hubungan timbal balik antara komunikator dan komunikan.

Memang tidak mudah untuk membangun komunikasi yang efektif. Komunikator harus bisa membawa komunikan mempunyai persepsi yang sama terhadap dirinya. Program-program dan argumentasi yang diberikan selain harus logis dan ilmiah, juga harus menyentuh, dapat meyakinkan dan “menghipnotis” semua komunikan. Hanya dengan hal tersebut komunikasi akan menjadi lancar dan bebas hambatan.

Berarti, komunikasi yang dibangun tidak hanya pada satu arah saja (one way communication) tetapi juga harus menjadikan komunikasi sebagai interaksi (two way communication-interactive) dan sebagai transaksi (transaction communication). Oleh karena itu, secara umum komunikasi memerlukan kemampuan untuk mengerti secara sadar keseluruhan aspeknya. Dengan mengerti keseluruhan aspeknya maka diharapkan mampu melaksanakan peran dan fungsi secara maksimal bagi terwujudnya harapan dan cita-cita bersama (Arnold William dan Lynne McClure: 2000).

Komunikasi merupakan langkah awal untuk memperkokoh eksistensi diri, eksistensi sosial, eksistensi daerah, bangsa dan negara. Menciptakan komunikasi yang baik berarti membangun komitmen untuk menyatukan aspek-aspek kehidupan yang awalnya terpisah. Dengan bersatunya aspek-aspek kehidupan tersebut, konflik-konflik internal akan mudah untuk diminimalisir dan pembangunan daerah percontohan bagi Kalimantan Barat akan terwujud dengan sendirinya.

Hadapi Dengan Senyuman


Hadapi dengan senyuman......

Semua yang terjadi biar terjadi.......

Lirik lagu yang disenandungkan grup band Dewa itu memberikan banyak arti bagi kita. Terutama pada momen Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Kalimantan Barat yang sebentar lagi akan selesai. Kekecewaan dan kegembiraan mungkin saja melanda beberapa kalangan. Yang namanya kompetisi pastilah ada menang dan kalah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan hati yang terbuka.

Perjalanan menuju KB-1 bukanlah hal yang mudah. Berbagai macam kendala atau rintangan dapat kita lihat dari masing-masing simpatisan atau pendukung calon gubernur tersebut. Berbagai cara juga telah dilakukan untuk meloloskan para kandidat ke jenjang KB-1. Tindakan-tindakan provokatif yang dilakukan para pendukung calon gubernur itu semakin gencar ketika memasuki tahap pemilihan. Cara-cara halal atau haram sudah tidak dipikirkan lagi. Yang ada hanyalah bagaimana calon gubernur dan wakil gubernur yang mereka angkat bisa naik menjadi gubernur dan wakil gubernur Kalbar ini.

Tindakan yang dilakukan para pendukung salah satu calon gubernur itu kadang menimbulkan keresahan masyarakat awam. Mulai dari selebaran-selebaran yang beredar di kalangan masyarakat, pesan-pesan singkat yang menyebar di ponsel, berita-berita atau opini-opini yang terlontar di media massa membuat masyarakat khawatir akan adanya sesuatu hal yang tidak diinginkan, kerusuhan atau sabotase misalnya. Statement-statement negatif yang didengar beberapa kalangan masyarakat awam membuat mereka menduga-duga apa yang akan terjadi di Kalbar ini. Ironisnya lagi, ‘bahasa-bahasa’ provokatif yang digunakan di masyarakat sepertinya menekankan kepada isu ras dan agama. Hal ini yang semakin membuat tingkat anxiety (kecemasan) masyarakat meningkat.

Melihat kondisi yang tidak kondusif seperti itu, media massa terkena imbasnya. Ketua KPUD Kalbar, Aida Mochtar, sampai menyatakan bahwa hasil-hasil rekap sementara pemilihan gubernur yang dilakukan beberapa lembaga non KPUD yang dipublikasikan di media massa dihentikan. Persoalannya, hal itu dapat membuat masyarakat berasumsi sendiri tentang siapa gubernur yang akan ‘naik’ di Kalbar ini. Belum lagi pernyataan sikap dari berbagai kalangan yang menginginkan pemilihan ulang membuat keresahan masyarakat menjadi-jadi.

Sepertinya pasca pemilihan gubernur ini kita masih belum bisa menerima hasil yang telah ditetapkan KPUD kota, kabupaten maupun provinsi. Pikiran dan hati kita belum terbuka untuk mencoba menerima ‘orang lain’ untuk menjadi pemimpin kita. Seperti lirik lagu Dewa diatas, hadapi saja semuanya dengan senyuman. Menang ataupun kalah kandidat yang kita usung harusnya kita dapat berlapang dada. Peduli amat dengan isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini, tentang kandidat yang satu akan begini bila menjadi gubernur, kandidat yang lainnya lagi akan begitu bila naik ke posisi KB-1, dan yang lainnya. Pikiran-pikiran seperti itu malahan membuat kita pusing, stres dan akhirnya gila. Daripada kita terusik dengan hal-hal yang tidak penting seperti itu, lebih baik mulai saat ini kita mencoba membuka diri kita. Mencoba untuk berlapang dada dan ikhlas dengan hasil yang telah ditetapkan.

Seperti kata kebanyakan orang, bahwa senyuman adalah obat bagi segala penyakit. Begitu juga dengan kemenangan atau kekalahan yang akan kita terima. Hadapi saja semua kenyataan ini dengan senyuman, karena yang sudah terjadi memang seperti ini. Kita bukanlah Tuhan yang bisa memutar waktu kembali ke masa lalu. Semua ini hanyalah pelajaran bagi kita bahwa seharusnya kita bersatu untuk menuju satu tujuan. Menjadi orang yang kalah bukanlah suatu hal yang buruk karena dengan kekalahan kita bisa belajar untuk suatu kemenangan. Begitu juga menjadi orang yang menang, kita dapat belajar dari kemenangan itu dan mencoba untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan usaha untuk menuju jenjang berikutnya yang lebih baik.

Akhirnya, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak semua pihak, baik yang menang atau yang kalah dalam pemilihan kepala daerah ini untuk berlapang dada. Bagaimana kita menghadapi semua yang telah terjadi dengan senyuman dan mengambil hikmah dari semua kejadian yang melanda kita akhir-akhir ini. Terima saja apa adanya hasil yang telah ada dan kita renungkan kembali perjalanan dari awal hingga akhir PILKADA ini, apa saja yang telah kita lakukan selama itu? Apakah sudah berada di koridor yang benar atau belum? Wallahu alam bis sawab.

TOLERANSI, PERBEDAAN DAN KONFLIK


Beberapa waktu lalu warga Pontianak disuguhkan peristiwa yang membuat hati resah. Konflik yang melibatkan individu dari suku Melayu dan individu dari etnis Tionghoa sempat memicu api kemarahan antar etnis tersebut. Berbagai isu mulai bermunculan seputar penyebab konflik itu terjadi. Hal tersebut membuat beberapa orang yang berasal dari kedua etnis itu terpancing amarah dan mengakibatkan kejadian yang tidak kita inginkan bersama. Untungnya, kedua pihak yang bertikai telah sepakat berdamai pada Senin, 24 Desember 2007 di kediaman walikota Pontianak Bapak dr. Buchary A. Rahman. Kejadian ini merupakan konflik yang kesekian kalinya di Kalimantan Barat ini. Bisa jadi hal ini membuka sedikit kenangan masa lalu tentang kejadian serupa (baca: konflik antar etnis) di beberapa titik rawan wilayah Kalimantan Barat. Entah sudah berapa kali konflik yang melibatkan etnisitas ini terjadi, baik itu yang terjadi antara Dayak-Melayu, Dayak-Madura, Madura-Melayu, China-Melayu, dan sebagainya (Ibrahim MS, 2005: 80).

Konflik yang terjadi itu dapat disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya karena permasalahan pribadi (baca: individu), permasalahan politik, permasalahan ekonomi, permasalahan sosial dan lain sebagainya yang akhirnya merambah pada kawasan etnisitas dan rasis. Biasanya permasalahan komunikasi juga bisa memicu terjadinya konflik tersebut. Baik itu komunikasi verbal (dalam hal ini bahasa yang digunakan masing-masing etnis) maupun komunikasi non verbal (seperti body language, mimik wajah, dan sebagainya). Konflik yang baru terjadi beberapa waktu lalu – yang dikenal dengan kasus gang 17 – sebenarnya tidak perlu terjadi. Begitu juga dengan konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Terkadang ego manusia dapat mengakibatkan akal dan hati tidak berjalan sebagaimana mestinya. Stereotype atau image yang telah ‘dibangun’ di dalam pikiran kita terkadang masih berisi kejelekan-kejelekan suatu kelompok tanpa mau mempertimbangkan sisi positif dari kelompok tersebut.

Untuk menghindari peristiwa serupa terjadi lagi, perlu kiranya bagi kita menanamkan sikap toleransi yang selama ini hanya kita dapatkan teorinya di bangku pendidikan formal. Ibrahim MS dalam bukunya Problematika Komunikasi Antarbudaya menawarkan beberapa solusi yang bisa menjadi bahan renungan untuk kita. Pertama, fahami diri dan orang lain. Pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak kita adalah sudah fahamkah kita dengan diri sendiri? Kemampuan mengenal diri sendiri merupakan kunci untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri sendiri. Ada kalanya mengoreksi orang lain lebih mudah dibandingkan mengkritisi diri sendiri. Dalam satu hari tak terhitung berapa kali kita mengomentari hasil kreativitas orang lain tanpa mau melihat proses yang dilaluinya. Pernahkah kita renungkan seberapa hebatnya diri kita dibandingkan dengan orang lain?

Kedua, sikapi perbedaan secara wajar. Lagi-lagi kembali kepada sifat egois yang ada dalam diri manusia. Merasa dirinya yang terbaik, terhebat, terkaya, dan ter...lainnya membuat kita tidak bisa menyikapi sebuah perbedaan secara wajar. Misalnya, orang dari suku Melayu iri dengan orang dari suku China karena keberhasilannya dalam bidang ekonomi, atau sebaliknya membuat jurang pemisah antar kelompok tersebut semakin jauh. Kita tidak mau menyikapi sebuah perbedaan dengan pikiran positif. Bila kita sedikit saja mau berpikiran bahwa perbedaan itu sebuah anugerah yang diberikan Tuhan, mungkin saja sebuah kedamaian dapat tercipta di bumi khatulistiwa ini. Perbedaan dapat kita sikapi dengan baik jika kita menyadari satu manusia dengan manusia yang lainnya merupakan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan saling melengkapi. Misalnya, orang kaya tidak akan ada tanpa orang miskin, sifat rajin tidak akan tercetus jika tidak ada sifat malas, dan begitu sebaliknya.

Ketiga, pelajari mengapa mereka berbeda. Perbedaan budaya, karakter individu, dan sebagainya dalam sebuah lingkungan penting untuk dipelajari. Bila kita telah dapat menyikapi sebuah perbedaan dengan wajar, kita pasti akan dapat memahami mengapa orang-orang di luar kita memiliki kultur yang berbeda. Misalnya perbedaan tutur kata dan bahasa antar etnis yang berbeda-beda, atau perbedaan lingkungan tempat tinggal yang menyebabkan karakter individu yang kuat. Seperti seorang anak dari suku Dayak yang dibesarkan di lingkungan yang mayoritas suku Melayu akan memiliki karakter yang berbeda dengan anak-anak dari suku Dayak kebanyakan, begitu juga sebaliknya.

Inti dari solusi konflik diatas adalah bagaimana kita dapat bertoleransi, memahami setiap perbedaan yang ada. Sudah saatnya kita bersikap terbuka, berjiwa besar dan berlapang dada menerima perbedaan yang terjadi antara kita. Terkadang konflik yang terjadi hanya karena masalah-masalah kecil yang merambah ke wilayah yang lebih besar. Mungkin konflik yang selama ini terjadi tidak bisa lagi kita katakan konflik antar etnis tapi konflik antar kelompok sosial. Karena apa, bahasa ‘antar etnis’ yang digunakan terlalu luas sedangkan ‘antar kelompok sosial’ lebih mengacu pada suatu kelompok yang ada pada etnis tertentu. Jadi, jika selama ini kita beranggapan orang Madura itu kasar kita dapat mengubah pemahaman itu menjadi hanya sekelompok orang Madura yang kasar. Begitu juga dengan etnis yang lainnya karena bila kita melihat konflik yang terjadi selama ini hanyalah permasalahan sekelompok orang yang ada pada sebuah etnis dan pada akhirnya terbawa pada keseluruhan dari etnis tertentu.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kepada seluruh pembaca untuk mencoba memahami orang lain ketika orang tersebut berbuat kesalahan dan selalu berpikiran positif. Artinya, kebesaran hati kita dalam menyikapi sebuah permasalahan merupakan satu hal yang dapat menghindari terjadinya konflik. Mustahil memang membuat seluruh warga Kalbar ini sadar dengan perbedaan yang ada, terlebih lagi ketika sikap individualis dan primordialis mendera diri kita. Akan tetapi, sebagai sesama manusia yang notabene makhluk sosial, tidak ada salahnya kita saling mengingatkan, mencoba membuka sedikit pikiran, hati dan pemahaman kita tentang perbedaan yang ada di sekitar kita. Semoga!

Ayo Dukung Kongres Kebudayaan Kalbar!

Pada bulan April ini, kongres kebudayaan nasional akan digelar di provinsi yang beribukota Denpasar, yaitu Bali. Sungguh ironis ketika kongres ini baru akan diselenggarakan kembali setelah 10 tahun vakum dengan formatnya yang lama, yang pada tahun 2003 lalu sempat diselenggarakan di Bukittinggi dan merupakan pra-kongres di Bali (sebagaimana diakses dari www.sinarharapan.co.id pada tanggal 10 Januari 2008). Dalam website yang sama, menteri negara kebudayaan dan pariwisata menegaskan bahwa pemerintah atau instansinya hanya bersifat fasilitator untuk penyelenggaraan kongres itu. Budaya dan kebudayaan merupakan milik dan kawasan otonomi masyarakat sepenuhnya, maka kongres itu pun diserahkan kepada kalangan budayawan, cendekiawan, para ahli, dan seterusnya untuk mengelola format dan isi kongres itu sendiri.

Di masa lalu kongres kebudayaan di Indonesia kebanyakan dikuasai oleh pemerintah atau negara, cenderung dipengaruhi politik atau kepentingan perpolitikan. Maka yang terlibat dan aktif cenderung terdiri dari mereka yang sealiran atau menerima aliran pemikiran kebudayaan yang dikehendaki pemerintah. Tetapi masalah esensial yang kemudian terasakan oleh kalangan kebudayaan Indonesia, justru pada isi kebijakan dan strategi kebudayaan Indonesia, ketimbang sekedar masalah bentuk atau format kongresnya. Hal yang serupa tentunya juga memberikan sedikit imbas bagi para budayawan, cendekiawan dan para ahli di bidangnya untuk mendukung kegiatan ini. Mungkin ada pertanyaan yang timbul di benak pembaca apa saja bahasan yang harus dibahas dalam kongres ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin bisa penulis jawab dengan mengutip sedikit pernyataan dari mantan menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 1985-1993 (Alm) Fuad Hasan dari website departemen kebudayaan dan pariwisata (www.kongresbud.budpar.go.id) yang diakses pada 10 Januari 2008. Menurut beliau, ada beberapa pembahasan mengenai kebudayaan Indonesia (dalam hal ini saya menganalogikan pada wilayah Kalbar).

Pertama, membahas berbagai ihwal tentang kebudayaan sebagai perekat kehidupan bersama jelas tidak mungkin terselesaikan dalam satu persidangan. Banyak segi dalam kehidupan bersama yang memantulkan unsur budaya, dari penampilan perilaku manusia yang sederhana hingga yang majemuk. Tidak terlalu keliru kiranya kalau kita katakan, bahwa kebudayaan meresapi perilaku warga masyarakat yang menjadi pengemban kebudayaan (culture bearers) yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah kebudayaan dapat dianggap sebagai perekat kehidupan bersama, bukan karena persamaan kepentingan (common interest) sesaat belaka, melainkan karena persamaan nilai-nilai (shared values) sebagai acuan perilaku dalam kehidupan bersama itu. Maka lebih dari sekedar perekat kebersamaan yang bersifat sementara, kebudayaan berdaya sebagai daya penggalang (rallying forces) bagi terwujudnya kebersamaan sebagai ke-Kita-an dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga dengan kongres kebudayaan di Kalbar ini. Budaya yang bervariasi di Kalbar tentunya dapat direkat dalam satu forum yang dinamakan kongres kebudayaan.

Kedua, kebudayaan Indonesia adalah penjelmaan kebersamaan kita sebagai bangsa yang menghuni wilayah Nusantara Indonesia. Dalam arti ini kebudayaan Indonesia merupakan manifestasi ke-Kita-an kebangsaan Indonesia. Artinya: Kita sebagai pengemban kebudayaan dan kebangsaan Indonesia. Namun tidak bisa diingkari bahwa penghuni wilayah nusantara Indonesia ditandai oleh kenyataan hidupnya, pluralisme budaya dalam arti sebenarnya, yaitu keanekaragaman dalam anutan sistem kepercayaan, bahasa, kesenian, kesejarahan dan pengetahuan. Dalam pluralisme tersebut menjelmalah bentuk-bentuk kebersamaan yang bersifat ke-Kami-an; konfigurasi dalam keanekaan itu menghayati kebersamaan masing-masing sebagai ke-Kami-an dengan budayanya yang khas. Tidak dapat dipungkiri di Kalimantan Barat ini juga terdapat sekat-sekat yang bersifat ke-Kami-an dengan dalih ke-Kita-an. Kongres Kebudayaan Kalbar ini setidaknya dapat meminimalisir hal tersebut setelah tahu apa-apa saja yang ingin kita ketahui dari beberapa kebudayaan yang ada di Kalbar.

Selanjutnya dijelaskan pada bagian akhir tulisannya beliau mengatakan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang tidak memiliki dinamikanya. Sesuatu kebudayaan bisa saja punah karena tiada lagi pengembannya. Sejarah kebudayaan sendiri menunjukkan terjadinya pasar surut kebudayaan manusia dalam berbagai kurun zaman. Namun selama ada masyarakat yang menjadi pengembannya, maka kebudayaan akan terus berkembang atas kemekarannya sendiri. Yang menarik ialah bahwa dinamika kebudayaan itu ditandai oleh serentak bekerjanya dua daya yang saling bertentangan, yaitu daya preservatif dan daya progresif. Sistem kepercayaan, bahasa dan kesejarahan tentu lebih cenderung berdaya preservatif dibandingkan kesenian dan ilmu. Kesenian dan ilmu pengetahuan jelas lebih bersifat daya progresif ketimbang preservatif. Menarik sekali betapa para perumus UUD-45 sangat menyadari hal ini, sehingga penjelasan pasal 32 tentang Kebudayaan mengakui bekerjanya daya preservatif dan daya progresif itu. Setiap kebudayaan cenderung melestarikan beberapa manifestasinya dan sekaligus mengirimkan terjadinya kemajuan masyarakatnya. Dalam rentangan antara kedua daya inilah menjelma peradaban (civilization) sebagai hasil dari apa yang dilestarikan dan apa yang ditinggalkan sebagai acuan perilaku masyarakat pengemban budaya yang bersangkutan.

Sama halnya dengan kongres kebudayaan yang – mudah-mudahan – terselenggara di Kalbar ini. Hal-hal yang menimbulkan multi makna di benak masyarakat seperti kepercayaan, bahasa dan kesenian mungkin dapat ‘diluruskan’ dengan adanya kongres ini. Perbedaan-perbedaan yang selama ini menggentayangi pikiran kita bak hantu, sekiranya dapat diperkecil, mengingat beberapa kejadian yang sempat menggetarkan hati dan pikiran yang selama ini mengeram pada masyarakat. Lagi-lagi kita diingatkan, kegiatan ini tentunya memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan kehidupan kebudayaan di Kalbar yang sangat kaya. Sikap-sikap multikulturalisme pada diri hendaknya juga dibangun dibarengi dengan sikap primordialisme yang melanda kita. Oleh karena itu, tak lelah saya mengajak semua pembaca, ayo dukung Kongres Kebudayaan Kalbar!

Jumat, 22 Februari 2008

Sebuah Draf Agenda Acara untuk Kongres Kebudayaan Kalbar


Wacana seputar kongres masyarakat Kalimantan Barat terus bergulir. Salah satunya seputar kongres kebudayaan Kalbar. Selama ini, kita tidak pernah tahu seperti apa kongres kebudayaan itu sebenarnya. Yang terbaru kemarin hanyalah seputar pemilihan ketua umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) pasca Bapak Abang Imien Thaha. Masyarakat awam di Kalbar tentunya masih kebingungan dengan isu-isu seputar kongres ini. Di Kalbar sendiri memang belum pernah diadakan kongres serupa selama beberapa tahun terakhir. Begitu juga dengan kongres kebudayaan nasional yang rencananya akan digelar di Bali bulan April mendatang. Ada baiknya sebelum kongres kebudayaan nasional yang digelar di Bali, kongres kebudayaan yang berbau lokal diadakan di Kalbar ini. Tujuannya tentu saja untuk merumuskan beberapa hal yang hasru dibahas pada kongres kebudayaan di Bali. Itupun andaikata dari Kalbar sendiri ada yang akan menjadi salah satu peserta pada kongres tersebut.

Pada kongres kebudayaan di daerah Kalbar sendiri banyak hal yang bisa dibahas. Akan tetapi sebelum itu, dapat penulis tawarkan beberapa draf agenda acara yang akan dibahas pada saat kongres. Diantaranya berupa tujuan kegiatan, latar belakang, target kegiatan, target peserta, persidangan, dan lain sebagainya. Kongres kebudayaan ini tentunya bertujuan untuk menampung persepsi, aspirasi, minat dan perhatian anggota mayarakat luas terhadap kebudayaan khususnya kebudayaan yang ada di Kalbar, memberikan kesempatan kepada tokoh masyarakat, budayawaan, pakar budaya, seniman, ilmuwan, pemangku adat, profesional, dan pejabat pemerintah untuk berdialog, tukar menukar pengalaman, menggali dan merumuskan pemikiran dalam upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah serta menghimpun bahan masukan untuk dipakai sebagai bahan penyempurnaan kebijakan memajukan kebudayaan Kalbar (disadur dari www.kongresbud.budpar.com pada tanggal 10 Januri 2008).

Latar belakang kongres kebudayaan tentunya telah dipaparkan diatas, yaitu sebagai wadah pemersatu kebudayaan yang ada di Kalbar. Mengingat beberapa ‘kejadian’ mengenaskan yang terjadi sepuluh tahun terakhir di Kalbar yang masih membawa unsur-unsur kebudayaan di dalamnya. Konflik-konflik yang terjadi tak lebih karena kurangnya rasa saling memahami antar budaya satu dengan budaya lainnya. Selain itu, sikap multikulturalisme yang selalu digembar-gemborkan sebagai sikap masyarakat modern ternyata hanya sampai omongan saja ketika menelisik di lapangan, hasilnya nonsense. Oleh karena itulah kongres ini benar-benar perlu diselenggarakan, setidaknya untuk meminimalisir hal-hal yang penulis rasa tidak perlu terjadi lagi di era modern seperti sekarang ini. Teknologi dan komunikasi yang telah canggih tentunya dapat membantu teman-teman kita lainnya yang berada jauh di pelosok daerah untuk lebih mengetahui seperti kebudayaan masyarakat lain.

Setiap kegiatan yang pernah diselenggarakan tentunya memiliki target yang ingin dicapai para penyelenggaranya, baik itu target kegiatan maupun target peserta. Pada kongres kebudayaan Kalbar ini, setidaknya penulis menempatkan diri sebagai penyelenggara, menargetkan dari kegiatan ini akan terciptanya kehidupan yang dinamis dan harmonis dalam bermasyarakat. Selain itu, peserta kongres dapat memahami kekurangan dan kelebihan yang dimiliki budaya satu dengan budaya lainnya. Pada kongres kali ini, pesertanya dapat berasal dari budayawan, akademisi, agamawan, cendekiawan, pemangku adat, bahkan masyarakat awam itu sendiri. Dan alangkah lebih bagusnya ketika kongres ini berlangsung, media juga turut andil mempublikasikannya, karena hasilnya akan lebih bermanfaat buat masyarakat yang tidak terlibat di dalam kongres sebagai peserta.

Di dalam kongres nanti, akan ada banyak hal yang dibahas. Karena itu, persidangan dalam kongres dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti sidang pleno, sidang komisi dan sidang paripurna. Dalam sidang pleno I – seperti sidang-sidang yang pernah kita alami – akan dibahas draf tata tertib, draf agenda acara, dan draf-draf lainnya yang nantinya akan disahkan oleh pimpinan sidang sebagai suatu ketentuan sidang yang sah. Apabila ada peserta yang tidak mematuhi hasil dari sidang pleno pertama ini tentunya akan diberikan ‘ganjaran’ oleh pimpinan sidang dan dengan kesepakatan seluruh peserta sidang. Sementara itu, sidang pleno II berisi beberapa pembahasan seperti rekomendasi internal dan eksternal kebudayaan Kalbar, yang akan dibahas per komisi dan selanjutnya dipaparkan pada sidang paripurna.

Dari hasil persidangan itulah akan dirumuskan beberapa hal – layaknya sebuah piagam madinah – yang bermanfaat untuk semua kalangan. Baik itu masyarakat, akademisi, profesional, budayawan, dan yang lainnya. Hasil kongres kebudayaan ini nanti dapat ditawarkan dalam kongres kebudayaan nasional guna membangun kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia yang sempat tenggelam. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita sendiri tidak tahu seperti kebudayaan kita dan ketika kita tahu ternyata kebudayaan tersebut telah menjadi hak milik negara lain.

INTELEKTUAL KADER; SAATNYA BANGUN DARI TIDUR LELAP


Mahasiswa yang merupakan perantara antara kaum elit atas dengan kaum menengah kebawah terkenal dengan tradisi intelektualnya. Seperti wacana-wacana yang sering dilontarkan, mahasiswa dianggap sebagai agent of change dan agent of control. Dari zaman orde lama, orde baru hingga reformasi, mahasiswa memainkan peranan penting di beberapa peristiwa di dalamnya. Contohnya, peristiwa sumpah pemuda, proklamasi, tragedi ’98, dan masih banyak lagi yang lainnya. Akan tetapi, kondisi sekarang ini sudah jauh berbeda. Mahasiswa di beberapa perguruan tinggi lebih senang mengadakan kegiatan yang berbau hiburan ketimbang hal-hal yang berkenaan dengan keilmuan seperti diskusi, seminar atau pelatihan. Dewasa ini mereka lebih senang berdiam diri di rumah daripada berlama-lama di kampus, berjam-jam ngegosip dengan teman-temannya daripada harus memutar otak untuk mendiskusikan hal-hal yang ‘rumit’. Mereka terperangkap pada pola-pola hidup negatif yang ditawarkan pelaku westernisasi seperti senang hura-hura dan bergaya hidup mewah (baca: hedonis), sikap kapitalis (pola hidup konsumtif) yang akhirnya berdampak pada sikap apatis (baca: acuh tak acuh) dan individualis.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terkenal dengan keintelektualan kadernya juga semakin “melempem”. Pola-pola diskusi yang biasanya menjadi kegiatan rutin, makanan sehari-hari kader HMI justru hanya menjadi makanan selingan yang tidak terlalu penting artinya. Hal itu dapat dilihat dari minimnya tradisi intelektual baik ditingkat komisariat maupun cabang. Tradisi intelektual seperti membaca, diskusi dan menulis hanya diminati oleh sebagian kader. Tulisan ini hadir hanya ingin memotivasi spirit ilmiah para kader HMI yang sempat tertidur lelap beberapa tahun terakhir. Padahal kita tahu bahwa intelektual merupakan kata yang cukup erat kaitannya dengan mahasiswa. Tingkat curiosity atau rasa ingin tahu yang besar membuat mereka selalu ingin mencari setiap hal yang mengganggu pikirannya. Baik itu melalui diskusi-diskusi ringan, pengamatan di lapangan maupun melalui bacaan-bacaan yang mereka dapatkan. Intelektual juga berkaitan dengan akal pikiran manusia. Akal yang merupakan pusat ilmu manusia bertumpu pada pengalaman empiris-fenomenal atau yang tampak.

Dewasa ini, banyak sekali problem yang kita temukan seputar aktualisasi tradisi intelektual di dalam diri mahasiswa. Seperti yang telah dipaparkan di atas, tradisi intelektual sudah jarang sekali diaktualisasikan di tingkat mahasiswa. Mereka lebih senang datang ke kampus, duduk dan diam ketimbang harus menghabiskan waktu bergelut dengan buku, diskusi dan dengan pena. Dengan dalih lebih cakap berbicara daripada menulis, sebagian mahasiswa menjadi malas menulis. Sugesti dari kata-kata “Lebih cakap berbicara” justru membuat kita tidak mau mencoba untuk menulis. Padahal potensi itu ada di dalam diri setiap manusia. Begitu juga dengan kata-kata “Lebih cakap menulis ketimbang berbicara”. DR. Yusriadi mengatakan bahwa orang yang pandai berbicara memiliki potensi yang sama untuk menulis, tinggal bagaimana kita mau mengasahnya atau tidak (Disampaikan pada diskusi mingguan HMI Komisariat Dakwah Cabang Pontianak dengan tema “Teknik Penulisan Artikel” pada Jum’at, 11 Januari 2008).

Menulis bukan hanya saat kita duduk di depan komputer atau mencoret-coret buku harian. Menulis adalah proses yang membangkitkan kreativitas dan memperkuat kesadaran kita akan dunia sekitar. Menulis juga membuat kita senantiasa menyadari keyakinan dan emosi yang ada dalam diri kita. Semakin banyak kita menulis sesuatu, semakin besar pula rasa percaya diri dalam mengungkan perasaan dan pandangan yang unik tentang kehidupan. Menjadi penulis, berpikir seperti penulis berarti menggabungkan proses kreatif ke seluruh hidupmu. Penulis Jamaica Kincaid dalam Caryn Mirriam-Goldberg terj. Lusy Widjaja (2005: 30) mengatakan bahwa dia selalu menulis dalam pikirannya, terutama pada saat dia sedang berkebun. Menurutnya lagi, menulis adalah proses mengamati, berpikir, menciptakan, merenungkan – lalu menuliskan semua itu. Menulis adalah pekerjaan paling gampang saya pikir. Apalagi untuk menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan keseharian kita. Sesuatu jika tidak dimulai dengan hal yang mudah pasti akan terasa sulit. Sama halnya dengan menulis, bila kita memotivasi diri kita untuk menulis hal-hal yang biasa, perlahan-lahan kita akan terbiasa menulis sesuatu yang luar biasa.

Ada tiga macam tradisi intelektual yang biasanya ‘dimainkan’ oleh kaum intelektual (baca: mahasiswa). Setelah tadi aktivitas menulis selanjutnya adalah membaca. Seperti wahyu yang pertama kali turun dari Allah SWT pada Nabi Muhammad SAW, iqra’, yang artinya bacalah. Dari situ saja kita sudah tahu bahwa Allah mengharuskan (bukan mewajibkan) makhluknya untuk membaca. Tidak hanya membaca buku atau tulisan-tulisan yang jelas terpampang, tetapi juga kita diharuskan membaca situasi, alam semesta yang ada di sekitar kita agar kita mengetahui rahasia-rahasia ilahi yang terdapat didalmnya.

Membaca bukan sekedar memelototi huruf, bukan sekedar memaknai kata, bukan sekedar menghabiskan halaman demi halaman. Tapi ‘membaca’ adalah memanfaatkan segala yang kita punya: penglihatan, pendengaran dan hati kita, untuk memaknai semua pengetahuan, pengalaman, fenomena dan kejadian apapun yang kita alami, dengan landasan bahwa tidak ada kehadiran di muka bumi ini yang tidak berarti. Termasuk penderitaan dan sakit hati (Ryan B. Wurjantoro, 2006: 15). Proses “membaca” yang sesungguhnya adalah bagaimana pertama-tama kita dapat membaca diri kita sendiri dari segenap sisi yang kita miliki, agar kita betul-betul memahami arti dan makna diri kita. Sebagaimana bunyi semboyan filsuf terkenal Aristoteles, Gnoty Teatons! Yang artinya “kenalilah dirimu”. Sementara Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”. Dari situlah hakikat kita untuk “membaca” sesuatu dimulai.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, untuk membaca sebuah teks saja tidak cukup. Tapi bagaimana kita dapat membaca keseluruhan isi yang ada di dunia ini untuk menyingkap tabir rahasia ilahi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, saya mencoba mengklasifikasikan mahasiswa dilihat dari proses membacanya. Tingkatan pertama adalah mahasiswa yang biasa membaca teks dan alam disekitarnya dan mampu memaknai, menganalisa atau minimal mendiskusikannya. Tingkat kedua adalah mahasiswa yang membaca teks dan alam sekitarnya tetapi belum mampu memaknainya secara mendalam. Dan tingkatan terakhir adalah mahasiswa yang hanya membaca teks – itupun biasanya karena suruhan guru atau dosen – tanpa mampu memaknainya. Tingkatan manakah kita berada?

Tradisi intelektual yang terakhir adalah berdiskusi. Ketiga aktivitas ini sudah seperti lingkaran setan di hidup mahasiswa. Karena tanpa membaca dan diskusi kita tidak akan bisa menulis, tanpa membaca kita tidak akan bisa berdiskusi dan jika hanya membaca tanpa berdiskusi dan menulis sama saja kita hanya terkungkung dengan bacaan kita. Diskusi adalah proses bertukar pikiran antara satu orang dengan orang lain. Diskusi merupakan titik sentral kegiatan intelektual mahasiswa. Di setiap perguruan tinggi, kegiatan semacam diskusi ini selalu dilestarikan. Diskusi dapat lahir dari perenungan, pengamatan, atau bacaan yang kita baca. Dengan kegiatan diskusi semacam ini kita dapat berbagi ilmu, berbagi masalah dan berbagi solusi. Walaupun tak jarang diskusi-diskusi ini melibatkan perbedaan pemikiran individunya yang mengakibatkan terjadi perdebatan panjang yang tiada henti. Oleh karena itu, dalam diskusi biasanya diperlukan seorang moderator atau penengah sebagai pengontrol jalannya diskusi.

Ketiga aktivitas diatas sudah jarang kita lihat di kalangan kader HMI. Padahal tiga tradisi ini merupakan kunci utama dalam membangun intelektualitas kader HMI. Selama ini kita hanya dipusingkan permasalahan internal saja. Kita tak ubahnya anak kecil yang menunggu ‘disuap’ ilmu-ilmu pengetahuan tanpa mau mencoba memberikannya dengan tangan kita sendiri. Selain itu, pola hidup negatif dari pelaku westernisasi yang telah dijelaskan diatas juga telah merasuk dalam diri kader HMI. Semangat juang untuk membangun organisasi ini seperti menguap seiring datangnya problem baru seputar pragmatis, individualis, hedonis, apatis dan tidak mau berkorban demi HMI. Kurangnya rasa memiliki organisasi juga merupakan faktor dari menurunnya intelektualitas kader. Tanpa rasa memiliki organisasi yang kuat, kita hanya cuek saja melihat kondisi miris HMI hari ini.Oleh karena itu, dengan kesadaran yang benar-benar berasal dari hati dan pikiran yang jernih sudah saatnya kita menumbuhkan kembali intelektualitas kader yang dulu melekat pada kader HMI sebagai identitas. Seperti kata Ahmad Wahib, HMI ini hanya sebuah alat bukan tujuan. Apabila kita menggunakannya untuk hal-hal negatif, maka negatif pula hasilnya. Akan tetapi jika kita menggunakan alat ini untuk tujuan positif maka positif pula hasilnya. Di usianya yang ke-61 ini sudah saatnya kader HMI bangun dari tidur lelap yang selama ini hanya diisi dengan mimpi-mimpi manis yang berisikan romantisme masa lalu akibatnya kita terlalu terbuai untuk bangun dari tidur itu dan terhanyut di dalamnya.