Minggu, 24 Februari 2008

Ayo Dukung Kongres Kebudayaan Kalbar!

Pada bulan April ini, kongres kebudayaan nasional akan digelar di provinsi yang beribukota Denpasar, yaitu Bali. Sungguh ironis ketika kongres ini baru akan diselenggarakan kembali setelah 10 tahun vakum dengan formatnya yang lama, yang pada tahun 2003 lalu sempat diselenggarakan di Bukittinggi dan merupakan pra-kongres di Bali (sebagaimana diakses dari www.sinarharapan.co.id pada tanggal 10 Januari 2008). Dalam website yang sama, menteri negara kebudayaan dan pariwisata menegaskan bahwa pemerintah atau instansinya hanya bersifat fasilitator untuk penyelenggaraan kongres itu. Budaya dan kebudayaan merupakan milik dan kawasan otonomi masyarakat sepenuhnya, maka kongres itu pun diserahkan kepada kalangan budayawan, cendekiawan, para ahli, dan seterusnya untuk mengelola format dan isi kongres itu sendiri.

Di masa lalu kongres kebudayaan di Indonesia kebanyakan dikuasai oleh pemerintah atau negara, cenderung dipengaruhi politik atau kepentingan perpolitikan. Maka yang terlibat dan aktif cenderung terdiri dari mereka yang sealiran atau menerima aliran pemikiran kebudayaan yang dikehendaki pemerintah. Tetapi masalah esensial yang kemudian terasakan oleh kalangan kebudayaan Indonesia, justru pada isi kebijakan dan strategi kebudayaan Indonesia, ketimbang sekedar masalah bentuk atau format kongresnya. Hal yang serupa tentunya juga memberikan sedikit imbas bagi para budayawan, cendekiawan dan para ahli di bidangnya untuk mendukung kegiatan ini. Mungkin ada pertanyaan yang timbul di benak pembaca apa saja bahasan yang harus dibahas dalam kongres ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin bisa penulis jawab dengan mengutip sedikit pernyataan dari mantan menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 1985-1993 (Alm) Fuad Hasan dari website departemen kebudayaan dan pariwisata (www.kongresbud.budpar.go.id) yang diakses pada 10 Januari 2008. Menurut beliau, ada beberapa pembahasan mengenai kebudayaan Indonesia (dalam hal ini saya menganalogikan pada wilayah Kalbar).

Pertama, membahas berbagai ihwal tentang kebudayaan sebagai perekat kehidupan bersama jelas tidak mungkin terselesaikan dalam satu persidangan. Banyak segi dalam kehidupan bersama yang memantulkan unsur budaya, dari penampilan perilaku manusia yang sederhana hingga yang majemuk. Tidak terlalu keliru kiranya kalau kita katakan, bahwa kebudayaan meresapi perilaku warga masyarakat yang menjadi pengemban kebudayaan (culture bearers) yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah kebudayaan dapat dianggap sebagai perekat kehidupan bersama, bukan karena persamaan kepentingan (common interest) sesaat belaka, melainkan karena persamaan nilai-nilai (shared values) sebagai acuan perilaku dalam kehidupan bersama itu. Maka lebih dari sekedar perekat kebersamaan yang bersifat sementara, kebudayaan berdaya sebagai daya penggalang (rallying forces) bagi terwujudnya kebersamaan sebagai ke-Kita-an dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga dengan kongres kebudayaan di Kalbar ini. Budaya yang bervariasi di Kalbar tentunya dapat direkat dalam satu forum yang dinamakan kongres kebudayaan.

Kedua, kebudayaan Indonesia adalah penjelmaan kebersamaan kita sebagai bangsa yang menghuni wilayah Nusantara Indonesia. Dalam arti ini kebudayaan Indonesia merupakan manifestasi ke-Kita-an kebangsaan Indonesia. Artinya: Kita sebagai pengemban kebudayaan dan kebangsaan Indonesia. Namun tidak bisa diingkari bahwa penghuni wilayah nusantara Indonesia ditandai oleh kenyataan hidupnya, pluralisme budaya dalam arti sebenarnya, yaitu keanekaragaman dalam anutan sistem kepercayaan, bahasa, kesenian, kesejarahan dan pengetahuan. Dalam pluralisme tersebut menjelmalah bentuk-bentuk kebersamaan yang bersifat ke-Kami-an; konfigurasi dalam keanekaan itu menghayati kebersamaan masing-masing sebagai ke-Kami-an dengan budayanya yang khas. Tidak dapat dipungkiri di Kalimantan Barat ini juga terdapat sekat-sekat yang bersifat ke-Kami-an dengan dalih ke-Kita-an. Kongres Kebudayaan Kalbar ini setidaknya dapat meminimalisir hal tersebut setelah tahu apa-apa saja yang ingin kita ketahui dari beberapa kebudayaan yang ada di Kalbar.

Selanjutnya dijelaskan pada bagian akhir tulisannya beliau mengatakan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang tidak memiliki dinamikanya. Sesuatu kebudayaan bisa saja punah karena tiada lagi pengembannya. Sejarah kebudayaan sendiri menunjukkan terjadinya pasar surut kebudayaan manusia dalam berbagai kurun zaman. Namun selama ada masyarakat yang menjadi pengembannya, maka kebudayaan akan terus berkembang atas kemekarannya sendiri. Yang menarik ialah bahwa dinamika kebudayaan itu ditandai oleh serentak bekerjanya dua daya yang saling bertentangan, yaitu daya preservatif dan daya progresif. Sistem kepercayaan, bahasa dan kesejarahan tentu lebih cenderung berdaya preservatif dibandingkan kesenian dan ilmu. Kesenian dan ilmu pengetahuan jelas lebih bersifat daya progresif ketimbang preservatif. Menarik sekali betapa para perumus UUD-45 sangat menyadari hal ini, sehingga penjelasan pasal 32 tentang Kebudayaan mengakui bekerjanya daya preservatif dan daya progresif itu. Setiap kebudayaan cenderung melestarikan beberapa manifestasinya dan sekaligus mengirimkan terjadinya kemajuan masyarakatnya. Dalam rentangan antara kedua daya inilah menjelma peradaban (civilization) sebagai hasil dari apa yang dilestarikan dan apa yang ditinggalkan sebagai acuan perilaku masyarakat pengemban budaya yang bersangkutan.

Sama halnya dengan kongres kebudayaan yang – mudah-mudahan – terselenggara di Kalbar ini. Hal-hal yang menimbulkan multi makna di benak masyarakat seperti kepercayaan, bahasa dan kesenian mungkin dapat ‘diluruskan’ dengan adanya kongres ini. Perbedaan-perbedaan yang selama ini menggentayangi pikiran kita bak hantu, sekiranya dapat diperkecil, mengingat beberapa kejadian yang sempat menggetarkan hati dan pikiran yang selama ini mengeram pada masyarakat. Lagi-lagi kita diingatkan, kegiatan ini tentunya memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan kehidupan kebudayaan di Kalbar yang sangat kaya. Sikap-sikap multikulturalisme pada diri hendaknya juga dibangun dibarengi dengan sikap primordialisme yang melanda kita. Oleh karena itu, tak lelah saya mengajak semua pembaca, ayo dukung Kongres Kebudayaan Kalbar!

0 komentar: