Sabtu, 28 Februari 2009

Dilema Anak Jalanan


Siang itu matahari bersinar cukup terik. Aku baru saja pulang dari kampus. Aku terus memacu motor di jalan Ahmad Yani yang masih sepi. Tiba-tiba lampu merah menyala di depanku sehingga aku harus memperlambat laju motorku dan berhenti.

Di sampingku ada seorang anak kecil yang menengadahkan kaleng bekas untuk meminta sedekah. Aku tersenyum dan kembali menatap jalanan. Bukan maksud mengacuhkannya, tapi aku melihat anak itu cukup mampu untuk bekerja daripada mengemis.

Lampu hijau telah menyala dan aku kembali menjalankan motorku. Di sepanjang jalan aku terus mengingat bocah itu. Sungguh ironis ketika anak seusianya – sekitar umur 8 tahun – menjadi anak jalanan. Padahal anak-anak lainnya sedang asyik belajar di bangku sekolah.

Aku sempat berpikir, bagaimana penerapan UUD ’45 pasal 34 yang menyebutkan bahwa anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Buktinya, masih banyak anak-anak seperti bocah itu yang berkeliaran di jalanan. Hidup tak tentu arah di jalanan. Tentunya hal ini sudah merupakan tindakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan. Akan tetapi, sepertinya pemerintah tidak ambil pusing untuk mengatasi permasalahan ini.

Hampir setiap bulan kita dapat mendengar bahkan melihat berita yang disiarkan melalui media massa mengenai razia anak jalanan. Gepeng! Begitu mereka disebut. Gelandangan dan pengemis yang rata-rata masih mampu untuk bekerja itu dijaring untuk diberikan keterampilan agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bukan menjadi anak jalanan.

Entah akan jadi apa bangsa ini jika generasi yang akan datang tumbuh dari lingkungan seperti itu (baca: jalanan). Anak-anak itu nantinya akan menjadi generasi penerus, pemimpin dan pemegang tongkat estafet zaman. Oleh karena itu, kita juga harus berpikir bagaimana menjadikan mereka anak-anak yang berguna bagi bangsa. Bagaimana menjadikan mereka pemimpin bangsa dengan tangan dan harta yang kita miliki. Masih banyak yang dapat kita lakukan untuk mereka. Waktu, tenaga dan harta masih dapat kita berikan selama kita mampu. Akan tetapi, niat dan kemauanlah yang menentukan semua itu.

0 komentar: