Rabu, 02 Desember 2009

Mental Hedonis Berujung Korupsi


Indonesia tengah dilanda permasalahan yang sangat pelik. Terutama menyangkut kasus korupsi yang tak pernah habis-habisnya terjadi di Indonesia. Di tengah kondisi alam yang tak bersahabat dengan manusia (dapat dilihat dari banyaknya bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia), Negara tercinta ini juga tengah dilanda permasalahan yang tidak pernah ketemu ujung pangkalnya, yaitu korupsi. Seperti yang marak diberitakan di berbagai media massa, kasus yang sedang hangat belakangan ini adalah kasus perselisihan antar oknum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pihak kepolisian dan pemerintah.
Sungguh miris memang, karena oknum-oknum yang berselisih adalah berasal dari lembaga yang memiliki peran penting bagi Negara Indonesia ini. Dengan munculnya kasus ini, dapat dipastikan kepercayaan masyarakat kepada beberapa lembaga ini jadi berkurang. Bahkan mungkin tak ada lagi yang dapat dipercaya. Karena, setiap kasus yang berkembang memiliki bukti-bukti baru yang saling menguatkan dan menjatuhkan. Belum lagi kasus yang berbeda tapi dikaitkan-kaitkan dengan kasus lain, misalnya kasus pembunuhan Nasrudin yang dituduhkan kepada Antasari Azhar dikaitkan dengan kasus penyuapan yang menimpa Bibit dan Chandra Hamzah. Hingga ujung-ujungnya adalah pada kasus korupsi di Bank Century yang merugikan Negara.
Pemerintah membentuk tim pencari fakta yang diberi nama tim 8. Tim ini diluar dari penyidik kepolisian yang menurut Ketua Divisi Humas Polri, Nanan Sukarna – pada konferensi pers – tidak memiliki kekuatan hukum untuk memenjarakan seseorang. Akhirnya, tim 8 bekerja, tim penyidik dari pihak kepolisian juga bekerja. Hingga masyarakat kebingungan bukti dan pendapat mana yang mau dipilih, tim 8 atau penyidik kepolisian? Berita-berita serta bukti-bukti yang ditampilkan di depan publik justru membuat masyarakat akan kebingungan karena semakin banyak informasi yang dikonsumsi tapi tidak dibarengi dengan verifikasi yang jelas. Kasus-kasus yang muncul juga tumpang tindih sehingga tidak jelas siapa menuntut apa dan siapa menuntut siapa.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (dikutip dari website Wikipedia Indonesia). Korupsi merupakan permasalahan yang tak kunjung selesai – minimal berkurang – di Indonesia. Hal ini menurut penulis dikarenakan budaya konsumerisme yang besar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pejabat. Mental-mental mereka telah dijejali dengan kebiasaan menggunakan barang-barang mewah. Fasilitas yang mereka terima tak sebanding dengan apa yang bisa mereka lakukan. Misalnya, kendaraan dinas yang mereka gunakan berupa mobil Mercy yang eksklusif. Akan tetapi, mereka lupa bahwa masih banyak orang-orang tak mampu yang menggelandang di jalanan. Jangan salahkan rakyat kecil ketika mereka harus mencuri demi sesuap nasi ketika anggaran untuk pembinaan mereka lebih kecil ketimbang dengan pembelanjaan fasilitas mewah para pejabat di atas-atas sana.
Padahal, dana-dana untuk kendaraan dinas, rumah dinas, fasilitas umum, kesehatan, dan lain sebagainya yang diterima para pejabat bisa lebih ditekan dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau pendidikan di Indonesia. Toh, gaji dan tunjangan yang mereka terima sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi, balik lagi pada permasalahan awal adalah mental-mental hedonis yang ditanamkan pada orang-orang gedongan itu. Meski tak jarang beberapa pejabat yang melakukan kegiatan sosial dengan separuh gaji yang ia terima. Dari gaya hidup yang mewah tersebut, ditambah dengan banyaknya ‘proyek’ yang mampir ke tangan pejabat membuat uang mengalir dengan mudah. Dari situlah kemungkinan besar ‘korupsi’ kecil-kecilan dilakukan.
Melihat kondisi diatas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kasus korupsi yang terjadi. Misalnya, dalam pelaporan keuangan lebih bersifat transparan. Selain itu, penekanan dana untuk tunjangan, fasilitas umum, dan lain sebagainya bisa dilakukan untuk dialokasikan ke bagian lain yang lebih memerlukan, misal pendidikan dan infrastruktur. Hal ini tentunya dapat mencegah terjadinya kesenjangan sosial antara yang ‘atas’ dengan yang ‘bawah’. Semoga!

0 komentar: